Manado, BeritaManado,com – Seiring waktu berjalan, Partai Politik saat ini dinilai bukan lagi sebagai vote getter dalam mendulang suara pada gelaran pesta demokrasi Pemilihan Umum tahun 2024 ini.
Hal tersebut dikatakan Dosen Kepemiluan Universitas Sam Ratulangi Ferry Liando kepada BeritaManado.com.
Penilaian tersebut dikatakan Ferry Liando berdasarkan hasil Pemilihan Umum Presiden RI dan Legislatif pada 14 Februari 2024 lalu.
Pilpres dimenangkan oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan partai koalisi Golkar, Demorkat, PAN, PSI, PBB, Partai Gelora, sementara untuk Pemilu Legislatif masih didominasi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengusung pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
“Melihat fenomena yang ada, partai politik sepertinya hanya berfungsi sebagai institusi yang mencalonkan. Selama ini dukungan publik pada seseorang sangat dipengaruhi oleh figur atau latar belakang kandidat,” ungkap Liando.
Ditambahkannya, kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka turut dipengaruhi oleh sosok Presiden Ri saat ini Joko Widodo.
Sebelum pencoblosan, tingkat kepuasan atas kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo ada pada angka 75 persen.
Selain figur Joko Widodo, ada banyak figur-figur lain yang namanya sangat terkenal dan dikagumi dalam lingkaran pendukung Prabowo-Gibran.
Figur-figur besar dimaksud ada yang berjuang sebatas pada media sosial, namun ada juga yang membentuk tim relawan, dimana kelembangaannya menyebar ke komunitas-komunitas.
Sebut saja sejumlah artis yang memiliki followers besar yang turut mendukung Prabowo-Gibran.
Demikian juga dengan para politisi berpengaruh seperti Ridwan Kamil yang merepresentasikan tokoh Sunda, Maruarar Sirait (tokoh Kristen) dan Budiman Sujatmiko (aktivis), dimana ketiganya adalah tida daris ekian banyak figur besar yang turut memberi andil terhadap kemenangan Prabowo-Gibran.
Perolehan suara Prabowo-Gibran dan Gerindra menjadi anomali, dimana pada sisi lain, PDIP masih cukup tinggi meski Capres-Cawapres yang diusung kalah.
“Hal itu disebabkan karena calon legislatif yang dicalonkan PDIP adalah figur besar dan memiliki ikatan emosional dalam komunitas yang menyebar. Sebut saja Yasti Supredjo Mokoagouw yang merepresentasikan tokoh muslim dan etnis Bolaang Mongondow. Dmeikian juga dengan Wenny Lumentut dengan dukungan umat Katolik, Vanda Sarundajang dengan basis dukungan umat KGPM, sementara Rio Dondokambey yang mewakili dukungan generasi millenial dan generasi Z sekaligus anak dari Gubernur Sulut Olly Dondokambey. Demikian juga dengan sosok James Sumendap dengan dukungan komunitas Panji Josua,” jelas Liando.
Di sisi lain, belum menonjolnya perolehan suara Gerindra di Sulut bisa jadi karena figur-figur yang diusung belum memiliki nama besar dibanding PDIP.
“Kedepan, Partai Gerindra memerlukan semacam konvensi di internal Parpol untuk menjaring dan menentukan Capres yang diusung. Konvensi yang dimaksud adalah sebuah mekanisme penentuan calon presiden yang dilakukan internal Parpol. Hasilnya dapat menjadi penentuan dasar bagi Parpol dalam mengusung nama tertentu untuk menjadi calon presiden. Mekanisme ini tidak dilakukan oleh PDIP,” kata Liando.
Keputusan penetapan bakal Capres yang menjadi hak preogratif Megawati Soekarnoputri bisa saja menjadi pemicu kekalahan Ganjar-Mahfud.
Bukan tidak mungkin juga di internal partai, para elit-elit besar PDIP ada yang tidak menghendaki Ganjar sebagai Capres PDIP.
“Tidak adanya konvensi di internal partai PDIP yang tidak melibatkan anggota, kader dan simpatisan PDIP bisa saja banyak pemilih akar rumput yang juga tidak memilih Ganjar Mahfud. Dari sduut pandang lain, bisa juga ada faktor ketersinggungan sebagian kader atau elit PDIP tentang sosok Mahfud yang dipilih sebagai Cawapres karena bukan kader PDIP,” tutup Liando.
(Frangki Wullur)