
Manado, BeritaManado.com — Jabatan politik dalam lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengandung tanggung jawab moral untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
Jika partai politik melakukan perekrutan calon instan, hal itu hanya akan merusak kualitas Pemilu itu sendiri yang sejatinya diharapkan dapat menghadirkan wakil rakyat yang baik, berkualitas dan berkompeten dibidangnya.
Dosen Kepemiluan Universitas Sam Ratulangi Manado Ferry Liando, kepada BeritaManado.com mengatakan bahwa DPR dan DPRD itu adalah wakil rakyat.
Sebetulnya di negara demokrasi pemilik kekuasaan, kedaultan itu ada di tangan rakyat.
Namun karena tidak mungkin semua rakyat masuk dalam lembaga politik maka rakyat memilih perwakilan mereka dengan maksud pihak yang mewakili dapat memperjungkan nasib rakyat yang memilih mereka.
Cara penyerahan mandat kekuasaan dari rakyat kepada wakilnya dilakukan melalui Pemilu.
Jika terpilih, maka tugas mandatoris (DPR/DPRD) adalah wajib memperjuangkan apa yang menjadi kebutuhan rakyat seperti pelayanan publik yang baik dan adil, tersedianya lapangan pekerjaan, tersedianya pelayanan kesehatan serta pendidikan yang baik, keluar dari derajat kemiskinan, aman dari berbagai gangguan serta memperjuangan masyarakat menuju kesejahteraan.
Oleh karena itu, Parpol harus memiliki tanggungjawab untuk mengusung calon anggota legislatif yang dinilai punya kapasitas soal itu.
“Jauh sebelum Pemilu 2024, harusnya Parpol sudah mempersiapkan calon-calon terbaik dengan cara rekrutmen secara selektif dan ketat. Artinya tidak semua warga negara bisa diterima menjadi anggita parpol,” tandasnya.
Ditambahkannya, hanya bagi merka yang punya komitmen mengabdikan diri secara tulus bisa diterima.
Kemudian setelh menjadi anggota, maka tugas parpol adalah melatih, mendidik dan membina mereka melalui proses kaderisasi.
“Kader harus memiliki kemampuan kepemimpinan, mamahami teknik regulasi, teknik perencanaan serta teknik penyusunan anggaran publik, kemampuan individu dalam berdebat demi kepentingan publik,” ujarnya.
“Jika kader tidak memiliki skil individu maka tidak layak jadi caleg,” katanya.
Setelah proses kaderisasi selesai maka tugas Parpol adalah melakukan proses seleksi.
Artinya anngota yang telah menjadi kader parpol dalam jangka waktu yang panjang berhak diikutsertakan dalam proses seleksi.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Parpol menyebutkan bahwa parpol wajib melakukan seleksi caleg secara terbuka dan melawati proses uji publik.
“Jika 3 tahapan ini tidak dilakukan semua parpol maka potensi yang akan terjadi adalah pasif dan tidak produktifnya dpr/dprd terpilih dlm memperjuangan kepentingan publik,” tandasnya.
Potensi yang terjadi adalah DPR/DPRD yang terpilih hanya memanfaatkan jabatan untuk kepentingan ekonomi dan kekuasaan.
Mereka hanya hadir, absen lalu pulang dan terima tunjagan dari uang rakayat setiap bulannya.
Pengalaman hasil pemilu 2019 masih terdapat anggota DPRD yang jarang hadir apalagi memberikan pendapat saat pembahasan rancangan kebijakan seperti ranperda ataupun kebijakan anggaran dan rencana kegiatan dalam APBD.
Belum banyak yang berani berbicara lantang mementang kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat.
Sebagian besar DPR/DPRD yang tidak produktif disebabkan karena kelalaian parpol dalam proses seleksi calon.
“Sebagian besar calon bukanlah kader, tapi tiba-tiba mendapatkan mendapat KTA untuk syarat pencalonan.
“Liando menilai, sebagian besar parpol lebih mengejar jumlah kursi ketimbang mengedepankan kapasitas calon. Apalagi jumlah kursi mempengaruhi kekuasaan parpol itui baik di pusat maupun di daerah,” tandasnya.
Semakin banyak kursi, maka semakin kuat bergaining position atau mendapatkan banyak jabatan. Parpol juga berusaha mencari banyak kursi agar makin mahal dalam penawaran untuk memenuhi ambang batas pencalonan pilkada.
“Kursi kerap dilelang kepada calon yang berminat. Jadi semakin banyak kursi, maka semakin tinggi pendapatan dari calon. Jika parpol tidak siap maka Pemilu tidak akan bemranfaat apa-apa bagi rakyat tetapi kesempatan elit-elit parpol memndapatkan nafkah hidup dari kekuasaan yang melekat,” ujarnya.
Jadi jika Parpol hanya mengusung calon kader instan akan merugikan konstituen yang seharusnya diwakilinya.
(Frangki Wullur)