
Manado, BeritaManado.com — Memasuki Tahun Politik, Partai Golkar cenderung mengalami penurunan elektabilitas bahkan menurut salah satu lembaga survei independen, elektabilitas Golkar mampu dilampaui dan tertinggal jauh oleh Partai Demokrat.
Pasalnya, elektabilitas Partai Golkar hanya sebesar 7,9 persen yang ditinggal jauh oleh Partai Demokrat dengan meraup elektabilitas 14,0 persen dan membuat para akademisi Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) akhirnya bersuara.
Akademisi Provinsi Sulut Ferry Daud Liando Dosen Ilmu Politik dan Kepemiluan Unsrat Manado saat dihubungi BeritaManado.com mengingatkan, suara Golkar yang cenderung statis pada 4 pemilu terakhir disebabkan Golkar selalu terbujuk rayuan untuk berada dalam lingkaran kekuasan.
“Sejak refornasi, Golkar tidak lagi sebagai peraih suara mayoritas, namun Golkar kerap hanya dimanfaatkan oleh parpol lain untuk membangun dominasi kursi mayoritas. Golkar selalu dijebak dengan rayuan dan tawaran jabatan,” ungkap Ferry, Jumat (25/11/2022).
Lanjut Ferry, akibatnya perolehan suara Golkar jauh dari angka signifikan. Padahal salah satu cara untuk mendongkrak elektabilitas, golkar bisa saja berada di luar lingkaran kekuasaan sebab, rakyat butuh partai politik untuk membela kepentingan mereka.
“Parpol yang berada dalam lingkaran kekuasaan cenderung lebih berpihak pada kepentingan oligarki atau kepentingan koalisi ketimbang berjuang bersama rakyat,” sorot Ferry.
Tak hanya itu, Ferry juga menjelaskan bahwa, terdapat banyak kepentingan publik yang diabaikan penguasa diantaranya penetapan Undang-undang cipta Kerja, Undang-undang KPK dan lainnya.
“Selama ini nyaris tidak ada kekuatan politik yang berpihak pada rakyat terutama dalam pembahasan suatu Undang-undang yang kontroversi. Jika parpol sudah terikat pada gerbong koalisi maka agak mustahil keberpihakan itu ada,” terang Ferry.
Meski begitu, Dosen Ilmu Politik dan Kepemiluan itu menyarankan jika Partai Golkar ingin memperbaiki reputasi sebagai partai rakyat, maka Golkar harus berpuasa untuk tidak berada dalam lingkaran kekuasaan.
“Menolak sementara tawaran jabatan sebagai konspensasi agar adanya dukungan mayoritas DPR ataupun DPRD terhadap pemerintahan,” tandasnya.
Namun demikian Ferry agak pesimis di mana, hal tersebut akan sulit bagi Golkar jika saat ini masih dikuasai para pengusaha. Kepentingan para pengusaha adalah dukungan pemerintah atas kemudahan perijinan usaha.
“Makanya saat ini banyak pengusaha menjadi simpatisan, pendiri dan pengurus parpol dengan maksud mendapatkan perlindungan dan kemudahan fasilitas dalam berbisnis,” timpal Ferry.
Terpisah, Pemerhati Politik Taufik Tumbelaka senada dengan Ferry Liando bahwa gaya berpolitik Partai Golkar selalu harus dekat dengan Kekuasaan.
“Faktanya, siapa pun yang berkuasa, tetap membutuhkan Partai Golkar,” jelas Taufik.
Menurut Taufik, Partai Golkar tidak punya Patron seperti halnya partai-partai politik lain contohnya PDI Perjuangan masih banyak, NasDem ada Surya Paloh, Demokrat ada SBY.
“Sementara di Partai Golkar tidak. Dan memang sudah dari dahulu Partai Golkar sudah seperti itu,” terangnya.
Namun begitu, Taufik tidak merasa pesimis justru sebaliknya, dia meyakini Golkar akan mampu mengubah situasi dengan pengalaman partai berlambang beringin itu sebagai salah satu partai yang terbesar di Indonesia.
“Golkar punya basis pendukung yang jelas dan besar, yang mampu meningkatkan elektabilitasnya,” tutup Taufik.
(ErdysepDirangga)