Sangihe — Danrem 131/Santiago Brigjen TNI Mukhlis SAP MM didampingi Ketua Persit KCK Koorcab Rem 131 PD XIII/Merdeka Okti Nusufa Mukhlis, bertemu nenek Alpiah Makasebape.
Pertemuan tersebut telah terlaksana pada Selasa (6/6/2022) dan hingga hari ini masih meninggalkan kesan mendalam bagi Brigjen Mukhlis.
Alpiah yang kini berusia 86 tahun merupakan salah satu saksi hidup dari peristiwa G30S PKI tahun 1965 silam, di mana dirinya saat itu merupakan pengasuh anak dari Jenderal Besar TNI (Purn) Dr (HC) Abdul Haris Nasution, Ade Irma Nasution.
Saat ini, Alpiah tinggal bersama cucunya di pulau ujung utara Indonesia, tepatnya di Kelurahan Dumuhung, Kecamatan Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara.
Silaturahmi antara Danrem 131 Santiago beserta istri dan nenek Tintang, panggilan akrab Alpiah dari warga setempat, terjalin usai Brigjen Mukhlis melakukan kunjungan kerja di Kodim 1301/Sangihe.
Kunjungan tersebut merupakan yang pertama kali sejak dirinya menjadi orang nomor satu di satuan Korem 131 Santiago beberapa bulan lalu.
Dalam pertemuan yang penuh keakraban tersebut, pengasuh Ade Irma Suryani Nasution ini menceritakan sekilas kehidupannya mulai dari kedatangannya di keluarga Jenderal A. H Nasution hingga peristiwa kelam 30 September 1965.
“Pada tahun 1960, Ibu Johana Sunarti Nasution mencari seseorang untuk mengasuh anaknya yang baru saja lahir (Ade Irma) pada 19 Februari 1960. Saya kala itu berusia 24 tahun akhirnya dipilih. Ade Irma Suryani merupakan anak bungsu Kepala Staf Angkatan Perang (saat itu) Jenderal TNI Abdul Haris Nasution. Ade Irma tertembak senjata pasukan pro PKI ketika sedang mencari Nasution untuk dibawa ke kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada malam 30 September 1965,” jelas nenek Alpiah.
Lanjutnya, kala itu Johana, Yanti kakaknya, Alpiah dan yang lainnya ikut tinggal dan menemani Ade Irma saat dirawat selama beberapa hari di RSPAD Gatot Soebroto sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
Gadis 5 tahun tersebut menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan Alpiah pada tanggal 6 Oktober 1965 karena saat itu, Johana sedang tidak ada di tempat.
“Saya masih mengabdi hingga tahun 1969. Setelahnya saya memilih untuk pulang kampung dan menetap di Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Kami masih menjalin komunikasi yang baik dan masih beberapa kali datang ke Jakarta untuk menghadiri acara-acara spesial Keluarga Nasution,” pungkas sang pengasuh.
Disela-sela obrolan tersebut, Danrem 131/Santiago yang penuh sahaja itu menyempatkan canda dengan bertanya kepada nenek Alpiah, apakah dirinya seganteng Pierre Tendean.
“Hidung Pierre lebih tinggi (mancung),” kata Alpiah sambil mengerutkan dahi yang kemudian tertawa lepas sehingga mengundang gelak tawa Danrem dan semua yang hadir saat itu.
Pada kesempatan itu, Danrem mengatakan jika kedatangan dirinya bersama Ketua Persit Kartika Chandra Kirana Koorcab Rem 131 PD XIII/Merdeka merupakan bentuk penghormatan kepada nenek Alpiah sebagai bagian dari sejarah keluarga Jenderal A.H Nasution.
“Kita bersilahturahmi disini, karena bagaimanapun Pak Nasution merupakan sesepuh kami di TNI Angkatan Darat dan nenek Alpiah adalah saksi sejarah yang masih hidup. Jadi bukan sekedar ‘katanya’ tapi dialami secara langsung. Sangat susah mencari saksi seperti nenek saat ini, yang mengalami langsung kejadian tersebut, dengan usia 86 tahun namun nenek ingatan masih sangat kuat,” tambah Danrem.
Lanjut Danrem, pihaknya memberikan apresiasi kepada nenek Alpiah karena sampai saat ini masih mengingat dengan jelas peristiwa yang menimpa Ade Irma.
“Saya berharap kepada generasi muda jangan pernah melupakan sejarah. Bagaimanapun juga ini peristiwa besar dalam sejarah bangsa Indonesia. Nenek Alpiah Makasebape adalah salah satu saksi sejarah peristiwa 30 September 1965 yang masih ada di pulau ujung Utara Indonesia, Kabupaten Kepulauan Sangihe,” pungkas Danrem.
Turut hadir Kepala Seksi Operasi Kasrem 131/Santiago, Kolonel Inf Aris Windarto beserta istri, Dandim 1301/Sangihe Letkol Inf Lukas Meinardo Sormin beserta istri.
(***/srisurya)