“Kalau orang Jepang kena tsunami paling nangisnya cuma sehari kemudian langsung bangkit, beda dengan orang Indonesia nangisnya bisa berbulan-bulan,” sentil Bryan Jaya, fasilitator Japan International Cooperation Agency (JICA) di Sulut. Dia menyebut itu pada sejumlah wartawan, saat workshop bertema Jurnalistik Liputan Bencana yang terselenggara di aula BPBD Sulut, Jumat (8/2).
Jepang memiliki teknologi mumpuni dalam hal penanggulangan dan rehabilitasi pasca-bencana. Salah satunya adalah laboratorium berfasilitas simulasi gempa di prefektur Tohoku bernama Meguro Learning Center of Earthquake.
Difasilitasi JICA, para pejabat Sulut termasuk Gubernur SH Sarundajang, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Hoyke Makarawung serta kepala badan serupa di kabupaten/kota, pernah mengunjungi laboratorium tersebut, belum lama.
“Para kepala badan bahkan mencoba langsung simulator gempa di Meguro,” kata Brian.
JICA merupaka sebuah organisasi yang menampakkan kepeduliannya pada negara-negara yang sering diterpa bencana. Peningkatan sumber daya dalam hal penanggulangan bencana merupakan konsentrasi mereka. Mr Ryoku Takahasi merupakan perwakilan resmi JICA di Manado, yang kini lagi menjalin kemitraan dengan Pemprov Sulut.
Jepang yang pernah merasakan kedahsyatan alam, ketika diterjang tsunami 2011 lalu, setidaknya memiliki pengalaman dalam hal penanggulangan bencana. Fasilitas “anti bencana” juga didirikan di Tokyo, yaitu Tokyo Rinkai Disaster Management Park. (alf)