BITUNG — Dianggap memberatkan dan merugikan puluhan pelaku usaha hiburan yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Hiburan Bitung (APHB), meminta DPRD melakukan peninjauan kembali Perda nomor 8 tahun 2010 tentang Pajak Daerah.
Pasalnya menurut Katua APHB Saur Wandi Napitupulu, Perda tersebut mewajibkan semua usaha hiburan membayar pajak sebesar 20% hingga 50, sangat memberatkan.
“Pajak yang ditetapkan dalam Perda tersebut sangat memberatkan, sehingga kami tidak tahu harus membebankan ke siapa karena pasti konsumen bakal melakukan komplain jika harga yang mereka tawarkan dinaikkan,” kata Napitupulu Kamis (17/02) sore.
Apalagi menurut Napitupulu yang didampingi Sekretaris APHB Pontoh S, pelaku usaha hiburan di Kota Bitung tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan sosialisasi Perda nomor 8 tahun 2010. Apalagi ketika melakukan penyusunan yang harusnya meminta pendapat dari para pelaku usaha agar tidak terlalu memberatkan.
“Atas nama APHB kami telah mengajukan surat permohonan peninjauan kembali Perda 8 tahun 2010 tentang Pajak Daerah ke DPRD Bitung yang didalamnya berisikan 10 aspirasi dan ditandatangani oleh 10 pengusaha hiburan di Kota Bitung,” kata Napitupulu.
Salah satu butir dari 10 pernyataan sikap para pelaku usaha hiburan Kota Bitung berbunyi, demi hukum dan keadilan, menolak Perda nomor 8 tahun 2010 tentang Pajak Daerah diberlakukan di kota Bitung.
Sementara itu, Kadispenda Bitung Olga Makarauw menyatakan, pemberlakuan Perda nomor 8 tahun 2010 kepada usaha hiburan sudah susuai aturan dan mekanisme yang kini berlaku di seluruh kabupaten kota di Indonesia.
“Semua sudah sesuai dengan ketentuan jadi tidak ada yang perlu dikuatirkan lagi,” kata Makarauw. (en)
BITUNG — Dianggap memberatkan dan merugikan puluhan pelaku usaha hiburan yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Hiburan Bitung (APHB), meminta DPRD melakukan peninjauan kembali Perda nomor 8 tahun 2010 tentang Pajak Daerah.
Pasalnya menurut Katua APHB Saur Wandi Napitupulu, Perda tersebut mewajibkan semua usaha hiburan membayar pajak sebesar 20% hingga 50, sangat memberatkan.
“Pajak yang ditetapkan dalam Perda tersebut sangat memberatkan, sehingga kami tidak tahu harus membebankan ke siapa karena pasti konsumen bakal melakukan komplain jika harga yang mereka tawarkan dinaikkan,” kata Napitupulu Kamis (17/02) sore.
Apalagi menurut Napitupulu yang didampingi Sekretaris APHB Pontoh S, pelaku usaha hiburan di Kota Bitung tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan sosialisasi Perda nomor 8 tahun 2010. Apalagi ketika melakukan penyusunan yang harusnya meminta pendapat dari para pelaku usaha agar tidak terlalu memberatkan.
“Atas nama APHB kami telah mengajukan surat permohonan peninjauan kembali Perda 8 tahun 2010 tentang Pajak Daerah ke DPRD Bitung yang didalamnya berisikan 10 aspirasi dan ditandatangani oleh 10 pengusaha hiburan di Kota Bitung,” kata Napitupulu.
Salah satu butir dari 10 pernyataan sikap para pelaku usaha hiburan Kota Bitung berbunyi, demi hukum dan keadilan, menolak Perda nomor 8 tahun 2010 tentang Pajak Daerah diberlakukan di kota Bitung.
Sementara itu, Kadispenda Bitung Olga Makarauw menyatakan, pemberlakuan Perda nomor 8 tahun 2010 kepada usaha hiburan sudah susuai aturan dan mekanisme yang kini berlaku di seluruh kabupaten kota di Indonesia.
“Semua sudah sesuai dengan ketentuan jadi tidak ada yang perlu dikuatirkan lagi,” kata Makarauw. (en)