
Manado, BeritaManado.com — Sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Keraton Bersatu menggelar aksi demo di depan kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).
Pendemo dilengkapi atribut berupa spanduk yang bertuliskan Pondol Keraton Melawan, Penggusuran Kejahatan HAM, Pengadilan Negeri (PN) Manado Pelanggar HAM, Lawan Mafia Tanah, dan Tolak Penggusuran.
Orator aksi Asmara Dewa, pada menyampaikan bahwa, masyarakat Pondol sedang berhadapan dengan Negara, di mana rumah mereka digusur oleh Pengadilan Negeri Manado.
Menurutnya sebagaimana diketahui, tanah tersebut ada sejarahnya, yang seharusnya tidak diperjual belikan, mengingat itu merupakan bagian dari peninggalan Hamengku Buwono ke- 5 dan para pengikutnya, dan menjadi amanah bagi keturunannya.
“Kenapa warga Pondol bersatu terus memperjuangkan tanah-nya, ini bukan soal uang atau materil, tapi amanah yang harus dijaga, dipertahankan dan diperjuangkan,” tegas Asmara Kamis, (8/5/2025) di depan gedung DPRD Sulut.
Lanjut dia, jika putusan PN Manado, kata Asmara, baik itu kasasi, peninjauan kembali, hingga pada eksekusi rumah dari 17 keluarga, namun kepolisian di lokasi ikut mendorong warga.
“Jadi, sebenarnya keamanan Negara, melindungi negara yang mana ? Ketika dilihat di lapangan, kepolisian yang malah menjadi pelanggar HAM, apalagi PN Manado yang paling bertanggungjawab pada penggusuran ini,” ujarnya.
“Pasal 28 UUD 1945 mengatur tentang HAM, khususnya hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, begitupun dengan pasal 39 tahun 1999 tentang HAM, tapi apa yang terjadi PN Manado begitu beringas dalam mengeksekusi, lebih konyolnya 14 nama dieksekusi, namun ditambah 3 rumah lagi yang tidak masuk di dalamnya,” terangnya.
Kata dia, bahkan aktivis HAM, Brayen Diadon, pada orasinya menyerukan kedatangan masyarakat Pondol untuk mengungkapkan kemarahan, keluhan dan kegelisahan yang ada, karena persoalan yang mereka hadapi saat ini sangat urgent, mengingat sekarang ini tidak memiliki tempat tinggal, mereka tidur di lorong-lorong, bahkan fasilitas buang air kecil pun tidak ada.
“Kalau pun NKRI bentuk pemerintahannya demokratis, kirannya pimpinan dan anggota Dewan bisa menemui masyarakat untuk mendengarkan aspirasi,” tutur Brayen.
Begitupun dengan masyarakat setempat, Wulandari, ketika diwawancarai mengatakan bahwa awalnya dirinya sudah mendengar ada 14 rumah yang akan dieksekusi, sesuai dengan gugatan, sedangkan 3 rumah lainnya tidak, termasuk rumahnya sendiri.
Namun, saat dirinya berada di tempat kerja mendapatkan pemberitahuan melalui telfon bawah rumahnya juga akan digusur.
“Saat itu juga tampa diberikan waktu untuk membereskan barang-barang penting di rumah, mengingat kan rumah kami tidak masuk gugatan, tapi PN Manado langsung tarik paksa kami dari dalam rumah, yang saat itu saya sedang memeluk anak dipaksa untuk keluar,” sorot Brayen.
Brayen menambahkan bahwa, dalam penggusuran itu padahal ada pihak kepolisian, tapi mereka sendiri bagian dari pelanggar HAM. Semua barang-barang penting, seperti akte kelahiran, ijazah, pakaian, seragam, tas sekolah dan sebagainya habis, kami hanya tersisa baju di badan.
“Mau diarahkan kemana kami masyarakat, baik itu lansia dan anak-anak yang kini sudah tidak bisa bersekolah lagi,” kata Brayen.
Masyarakat yang berdemo itu pun ingin bertemu pimpinan dan anggota DPRD Provinsi Sulut namun tidak membuahkan hasil, dan hanya ditemui oleh Plt Sekretaris DPRD Sulut Weliam Niklas Silangen.
“Mewakili pimpinan dan anggota Dewan memohon maaf sebelumnya atas ketidakhadiran, mengingat ada tugas luar, namun, apa yang menjadi aspirasi Bapak, Ibu ini kata Silangen, akan diteruskan kepada pimpinan dan komisi terkait, sebagai bentuk kelanjutan pada rapat dengar pendapat nanti,”ucap Niklas.
(Erdysep Dirangga)