Manado, BeritaManado.com — Pilkada Serentak akan digelar 27 November 2024.
Di Sulawesi Utara (Sulut), 15 kabupaten/kota akan memilih pemimpinnya, termasuk menentukan gubernur dan wakil gubernur.
Kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulut 2024 menjadi menarik disimak.
Apalagi tahapan pencalonan baik dari partai politik hingga di level penyelenggara akan bergulir.
Sejumlah nama kian santer diisukan akan berkompetisi menuju 01 Sulut.
Para figur ini sudah cukup dikenal masyarakat, karena terbilang berpengalaman memimpin pemerintahan.
Steven Kandouw
Sosok pertama yang diyakini bakal berkompetisi adalah Steven Kandouw.
Wakil Gubernur Sulut dua periode ini terbilang mapan dari segi pengalaman.
Dua periode menjadi mitra Gubernur Olly Dondokambey, membuat Steven Kandouw layak meneruskan pembangunan ke depan.
Steven juga dinilai berhasil menorehkan sejumlah prestasi bersama Gubernur Olly.
Bukan hanya itu, selama dua periode menjadi wagub, Steven bekerja nyata dalam pembangunan bumi nyiur melambai.
Itu bisa dilihat dengan deretan mega proyek yang dibangun di Sulut, bahkan beberapa diantaranya diresmikan langsung Presiden Joko Widodo.
Sepak terjang Steven memang tidak diragukan lagi.
Ia dikenal tegas dan merakyat.
Tulus melayani dan ikhlas memberi, adalah ciri khas seorang Steven.
Dirinya bahkan pernah menyumbangkan lahan pribadi seluas 5 hektare untuk relokasi rumah korban bencana Abrasi Pantai di Amurang.
Tanah itu berlokasi di Kelurahan Rumoong Bawah, Kecamatan Amurang Barat, Minsel.
Sejatinya, Steven adalah kader PDIP yang sangat militan dan layak menjadi penerus Olly Dondokambey.
Christiany Eugenia Paruntu
Kandidat berikutnya adalah srikandi cantik dari Golkar.
Adalah Christiany Eugenia Paruntu atau akrab disapa CEP.
Di pemerintahan, CEP adalah Bupati Minahasa Selatan (Minsel) dua periode.
Sukses memimpin Minsel, ketokohan CEP masih dirindukan menjadi Gubernur Sulut.
CEP adalah sosok yang sangat diperhitungkan untuk Pilgub Sulut 2024.
Selain memiliki massa militan, Ketua DPD Golkar Sulut ini pernah meraih suara terbanyak kedua di Pilgub 2020.
Kala itu, CEP bersama Sehan Salim Landjar, meraih 34,2 % atau sebanyak 493.323 suara.
Kalah dengan pasangan Olly Dondokambey-Steven Kandouw yang unggul 821.503 suara atau 56,8%.
Kekinian, CEP juga meraih suara terbanyak di line up caleg DPR RI Golkar, dan berpeluang lolos.
Andaikan nanti sudah berkantor di Senayan, CEP nampaknya tidak akan melewatkan arena Pilgub Sulut.
Apalagi ia sudah mendapat mandat langsung dari Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, sebagai bakal calon gubernur.
Joune Ganda
Selanjutnya ada Joune Ganda.
Walau baru satu periode memimpin Minahasa Utara (Minut), Joune Ganda sudah digadang-gadang bakal menjadi peserta Pilgub Sulut.
Joune merupakan salah satu kader terbaik PDIP, yang sarat prestasi nasional bahkan internasional.
Ia kerap diundang pada pertemuan internasional pemimpin dunia.
Berbagai kalangan menilai, Joune Ganda merupakan figur yang tepat diberikan mandat sebagai penerus Olly Dondokambey.
Terlebih, selama memimpin bumi primadona kelapa, Minut mengalami peningkatan signifikan.
Seperti PDRB Rp75 juta pet tahun, hanya kalah dari Kota Manado.
Joune Ganda dianggap punya peluang rasional mencalonkan diri, mengingat kapasitas dan pengenalan yang baik atas posisi personalnya.
Poin plusnya lagi, Joune Ganda tidak terlalu suka dengan pencitraan, namun semangat dan dedikasinya bagi masyarakat sangatlah menginspirasi
Elly Lasut
Elly Lasut menjadi nama kuat berikutnya.
Elly Lasut cukup dikenal publik Sulut khususnya masyarakat Nusa Utara.
Kini, ia masih aktif menjabat Bupati Kepulauan Talaud dan sebagai Ketua Demokrat Sulut.
Nama Elly Lasut santer dikabarkan bakal meramaikan Pilgub Sulut.
Memiliki layar belakang sebagai seorang dokter, Elly Lasut kabarnya melirik 01 Sulut sebagai pelabuhan berikutnya.
Bahkan Elly pernah berujar bahwa partainya (Demokrat) akan berusaha keras di Pemilu 2024 untuk meraih sembilan kursi di DPRD Sulut, agar bisa mengusung pasangan cagub dan cawagub.
Terpisah, Dosen Kepemiluan Universitas Sam Ratulangi, Ferry Liando, berpendapat, untuk menentukan peluang calon gubernur di Pilgub 2024 tidak sebatas melihat pada popularitas figur.
Menurut Ferry Liando, ada beberapa aspek yang wajib dipertimbangkan.
Pertama, kata Ferry, memikirkan aspek administratif politik dalam Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur syarat parpol untuk bisa mengusung calon kepala daerah.
Dikatakan, syarat mengusung kepala daerah adalah memiliki kursi di DPRD minimal 20 persen dari jumlah total anggota DPRD berdasarkan hasil pemilu sebelumnya.
Selain ketentuan jumlah kursi, lanjut dia, dapat juga menggunakan syarat perolehan suara hasil pemilu dengan ambang batas minimal 25 persen suara.
“Jika menghitung 20 persen dari 45 kursi, maka syarat psrpol bisa mengajukan calon harus memiliki minimal 9 kursi di DPRD,” jelasnya.
Ferry menuturkan, jika merujuk pada hasil penghitungan sementara oleh KPUD, praktis baru PDIP yang memenuhi syarat mengusung calon kepala daerah.
Hal lainnya, kata Ferry, mempertimbangkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahahan.
Menurutnya, UU 10/2016 menegaskan jika dalam suatu parpol tidak memiliki kursi minimal 20 persen dari total 45 kursi DPRD, maka parpol tersebut bisa bergabung atau mengajak parpol lain yang memiliki kursi di DPRD sampai jumlah kursi cukup (minimal 9) sebagai syarat pencalonan terpenuhi.
Namun demikian, ujarnya, di Sulut, kebijakan pengabungan dua atau lebih parpol dalam mengusung calon kepala daerah, kerap bermasalah.
Itu karena gabungan yang berasal dari dua atau tiga parpol memiliki kepentingannya berbeda-beda satu sama lain.
“Kepala daarah yang berasal dari partai A dan wakil kepala daerah dari partai B, kebanyakan tidak bisa menyelesaikan kepemimpinan mereka diakhir periode dengan hubungan harmonis. Ada yang baru menjabat tiga bulan sudah konflik. Jika kepala daerah dan wakil kepala daerahnya berseteru, maka akan berdampak buruk bagi pelayanan publik,” terang Ferry.
Ia menjelaskan, penggabungan beberapa parpol dalam mengusung kepala daerah juga banyak mengandung sisi buruk.
Ferry bilang, pengalaman pada pilkada sebelumnya, ada parpol dan anggota DPRD diduga memperjualbelikan kursinya kepada bakal calon agar ketentuan persyaratan terpenuhi.
Berikutnya, dapat juga mempertimbangkan kelembagaan partai politik pengusung.
Ferry berujar, pilpres dan pilkada memiliki dinamika politik berbeda.
Salah satu kekuatan calon pilpres adalah relawan.
Posisi parpol tidak begitu efektif.
Namun di pilkada, dinamikanya sangat lain.
Peran parpol masih sangat dominan, sehingga kelembagaan parpol berpengaruh.
“Parpol yang memiliki kelembagaan organisasi rapih, kuat dan terstruktur akan mempengaruhi mobilisasi dan konsolidasi pemenangan,” ujarnya.
Ferry menambahkan, hal penting juga mempertimbangan relasi sosial calon dengan lembaga sosial, keagamaan dan kemasyarakatan.
“Figur yang terikat secara struktural dengan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan akan kuat mempengaruhi elektabilitasnya,” tandasnya.
(Alfrits Semen)