Oleh : Jackson Kumaat
Akhir pekan lalu, saya mengunjungi kota Solo bersama keluarga, menumpang
pesawat Garuda Indonesia. Sayangnya, maskapai plat merah yang beken ini, delay hingga dua jam lebih di Bandara Sukarno Hatta. Pesawat Garuda yang saya tumpangi bernomor penerbangan GA224 harusnya berangkat jam 16.35WIB. Tapi akibat delay, para penumpang harus menunggu hingga diberangkatkan sekitar pukul 19.00WIB.
Benar-benar menyebalkan!
Sebenarnya, saya tak biasa menulis untuk kolom Surat Pembaca di surat kabar atau media online. Tapi, demi pembenahan manajemen maskapai penerbangan dan masing-masing stakeholdernya, saya merasa hal ini menjadi perhatian bersama. Bagaimana mungkin mampu memberikan pelayanan maksimal ke para penumpang, jika waktu pemberangkatan pesawat tertunda? Di mana letak tanggung jawab maskapai terbesar di negeri ini, jika ‘keluhan’ kecil ini tak direspon? Dan, apa solusi ke depan aga kejadian ini tak terulang?
Saya berpikir, kasus delay penumpang tujuan Solo hari Jumat sore itu, awalnya tak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah, penumpukan penumpang di ruang tunggu terminal keberangkatan. Para penumpang (bukan saja tujuan Solo), hanya bisa menggerutu dan menarik nafas panjang. Beruntung tak ada yang emosi berlebihan. Suasana di Lounge Garuda yang elit dan ekslusif-pun demikian ramai. Ruangan tunggu khusus penumpang kelas bisnis ini, tampak ramai oleh penumpang. Seperti pasar. Menikmati hidangan yang disediakan prasmanan pun, jadi tak nyaman.
Kemudian, akhirnya burung besi itu terbang, sekitar jam 7 malam. Mendarat di Solo agak bergetar, mungkin karena cuaca hujan di langit Solo. Meski demikian, pesawat menarat mulus di Bandara Adi Soemarmo. Lama perjalanan sekitar satu jam, sesuai estimasi Sang Pilot.
Keesokan sorenya (22/10/2011), saya dan keluarga kembali pulang ke Jakarta, dengan maskapai yang sama. Sengaja saya pesan tiket pergi-pulang, demi efektivitas. Ada sedikit khawatir pesawat kembali delay, karena sebagian langit tampak mendung. Tiket saya tertulis nomor penerbangan GA227, berangkat pukul 18.30WIB.
Alamak!
Pesawat kembali delay, hingga pukul 7 malam lewat. Sekali lagi, sebagian para
penumpang cukup sebatas menggerutu dan menghela nafas. Tak ada penjelasan yang diumumkan tentang keterlambatan ini. Permintaan maaf dilakukan oleh seorang wanita dengan pengeras suara di ruang tunggu. Pak Pilot tak bicara soal keterlambatan di dalam kabin. Maaf, jika memang saya yang tak mendengar.
Sudahkah berakhir? Ternyata belum.
Setiba di Bandara Sukarno-Hatta yang cerah, ternyata pesawat tak mendarat di dekat terminal penumpang. Sebelum pesawat berhenti, Pak Pilot memang memberikan pengumuman dan meminta maaf atas ‘ketidak-nyamanan’ ini. Para penumpang diminta turun dari tangga, kemudian dijemput oleh bus. Sayangnya, bus yang ditunggu belum tiba. sekitar 15 menit para penumpang bengong di depan moncong pesawat, menanti jemputan tiba. Bak anak ayam kehilangan induk, para penumpang menanti tanpa adanya arahan.
Lima belas menit adalah waktu yang tak lama. Tapi, 15 menit tak bisa dianggap remeh. Dengan kondisi tanpa arahan, seratusan penumpang yang menunggu di depan moncong pesawat, merupakan orang yang rentan kecelakaan. Apalagi, saat itu dilakukan pemindahan bagasi, pengisian BBM dan lalu lalang kendaraan milik PT Angkasa Pura.
Alhasil setibanya di dalam bus, rombongan bus ini harus menunggu cukup lama di sisi landas pacu bandara. Tampaknya, pesawat Garuda tadi mendarat dan berhenti di sisi seberang terminal penumpang. Jadi wajarlah bus berhenti untuk menunggu pesawat mendarat atau berangkat. Sekali lagi, waktu terbuang percuma dalam layanan Garuda.
Akhirnya, saya cuma bisa berharap, ada political will dari pemerintah untuk membenahi manajemen Garuda. Saya yakin, di bawah komando Menteri Perhubungan hasil reshuffle Pak EE Mangindaan dan Menteri BUMN Pak Dahlan Iskan, akan ada perubahan baik dalam transportasi publik.
Ada banyak persoalan manajemen maskapai dan juga bandara yang harus dibenahi. Saya masih ingat pernah trauma menumpang pesawat maskapai swasta di Bandara Sorong. Ketika mendarat, tiba-tiba pesawat naik kembali ke udara, lantaran ada penggembala sapi melintas di ujung bandara.
Harga tiket pesawat memang mahal. Tapi bukan berarti kita cuma bisa diam, jika menjadi ‘korban’ kelalaian petugas di lapangan. Jika hal kecil (delay) ini saja tak bisa dibenahi, bagaimana dengan persoalan yang lebih besar? Dan, jika persoalan maskapai ini tak ada solusi, bagaimana kita mau bersikap tentang transportasi murah, seperti kereta api dan bus kota? (*editjry)