
Jakarta, BeritaManado.com – Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam perhelatan kontestasi pemilihan umum (Pemilu) selalu menjadi bahasan krusial.
Topik ini juga mendapat porsi khusus dalam setiap pembahasan regulasi undang-undang pemilu.
Tak terkecuali pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) gelombang keempat yang digelar 9 Desember 2020.
Ada beragam alasan mengapa netralitas ASN hilir mudik diperbincangkan dalam pemilu.
Satu diantaranya ialah ASN dianggap mampu menggerakan potensi sosial dan politik yang mereka miliki.
Apalagi jika pembahasan isu tersebut berkaitan dengan pelaksanaan pilkada dan majunya petahana dalam hajat demokrasi lokasi seperti pemilihan gubernur, pemilihan bupati, dan pemilihan walikota.
“Potensi sosial politik yang mereka miliki menjadi alasan tersendiri, kenapa isu ini selalu menarik itu dibahas. Bahkan, ada bab khusus di regulasi dan Lembaga khusus juga yang ikut mengawasinya,” buka peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Dian Permata, dalam diskusi daring Dilemas ASN dalam Pemilu: Maju Kepentok, Mundur Kejedot, di Jakarta, Kamis (9/7/2020).
Dilanjutkan Dian, dari kontestasi pilkada gelombang ke satu hingga ketiga, ada tren kenaikan aduan pelanggaran netralitas ASN.
Potensi kenaikannya setiap pilkada mencapai 5-6 kali lipat.
Dari 10 persen hingga 296 persen.
Bahkan, data dinamis untuk Pilkada 2020, sudah mencapai 136 persenan.
Artinya, secara pukul rata dari 270 wilayah yang melaksanakan pilkada setiap daerah mempunyai peluang ada satu hingga dua laporan aduan.
Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Kudus, Tamzil, dapat menjadi secuil petunjuk menyoal tema di atas.
Dia ditangkap beberapa bulan usai pilkada.
Dalam OTT tersebut, Tamzil ditetapkan KPK sebagai tersangka.
Tamzil diduga menerima suap terkait pengisian jabatan kepala dinas di wilayahnya.
Kasus ini menguatkan isu yang berkembang selama ini bahwa kepala daerah memiliki peran khusus untuk pengisian jabatan di daerah.
Beragam persoalan yang bersinggungan netralitas ASN di pemilu merangsang wacana publik pencabutan hak politik mereka.
Bahkan sudah digulirkan di ruang publik.
Dari seri data riset diketahui, publik terbelah untuk menyikapi hal tersebut.
Di Pilkada Brebes, 25 persenan sangat setuju dan setuju hak politik ASN dicabut.
Di Pilkada Kota Sukabumi, 24 persen.
Di pemilu nasional, 30 persen.
Di Pilkada 2020, 28 persen.
“Angka setuju cabut hak politik ASN masih di bawah 30 persenan. Namun, ini harus dicermati. Potensi kenaikan terlihat ada kenaikan”.
Agar angka itu tidak naik maka ASN, kata Dian, harus mematuhi regulasi yang ada.
Selain itu menolak jika ditarik ke arah dukung-mendukung kandidat, terutama oleh petahana.
Ini untuk mengembalikan marwah ASN sebagai pelayanan masyarakat.
Soalnya, kepercayaan masyarakat agar ASN netral di pemilu terbilang lumayan tinggi.
Di Brebes, 77 persen publik sangat setuju dan setuju ASN netral.
Di Pilkada Kota Sukabumi, 76 persen.
Di riset nasional 2019, 82 persen.
Di Pilkada 2020, 84 persen.
“Mayoritas publik, ingin ASN netral dalam pemilu” tambah Dian.
Begitu juga soal keterlibatan ASN dalam menyukseskan perhelatan pemilu.
Publik masih menaruh harapan.
Mereka menganggap, ASN dapat berperan maksimal dalam kontestasi elektoral tanpa menanggalkan marwah sebagai aparatur negara.
Di Brebes, 58 persen publik beranggapan ASN sangat perlu dan perlu terlibat dalam menyukseskan atau berpartisipasi dalam pemilu.
Di Kota Sukabumi, 77 persen. Di riset nasional 2019, 53 persen. Di Pilkada 2020, 62 persen.
Besarnya kepercayaan publik terhadap ASN harus dipertahankan.
Terutama jika berkaitan dengan pemilu.
Jika ASN masuk dalam pusaran politik, seperti pemilu, mengakibatkan menjadi tidak netral, niscaya publik akan mengecam.
Wajar saja. Karena publiklah yang terkena imbas. Pelayanan menjadi tidak maksimal.
Padahal, beragam regulasi ditelurkan dan sedemikian rupa mengatur dan memerintahkan ASN untuk netral dan fokus pada fungsinya pelayanannya.
Prediksi Dian, potensi aduan masyarakat atau lainnya menyoal netralitas ASN di pemilu akan bergeser di dunia maya.
Ini dilatarbelakangi dengan adaptasi kampanye di ruang terbuka seperti lapangan terbuka menjadi kampanye di dunia maya atau daring.
Kanal media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram menjadi tempat favorit para kandidat untuk kampanye.
Di situlah ruang jebakan terbuka lebar.
“Karena kanal membuka ruang interaksi juga antara kandidat dengan pemilih. Bisa saja komentar atau tanda jempol sebagai bentuk dukungan menjadi model aduan terbanyak,” tutup Dian.
(***/Finda Muhtar)