Oleh : Frets A. Goraph (Mantan Aktifis GMKI Manado dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya)
Penggusuran PKL dan pemukiman liar merupakan tradisi pemerintah daerah di seluruh Indonesia yang katanya untuk penertipan PKL dan pemukiman liar untuk menjamin hak-hak pemilik maupun pemilik modal atau tanah pemerintah yang akan dipakai untuk membuat perkantoran pemerintahan padahal untuk lokasi bisnis.
Merefleksikan tahun-tahun terakhir ini kita menyaksikan ribuan orang yang menahan duka dan marah ketika mereka dipaksa untuk kehilangan tempat tinggal, ruang hidup dan harta miliknya. Kedukaan dan kemarahan ini dilahirkan oleh operasi penggusuran yang sepanjang tahun ini dilancarkan Pemda terhadap ruang PKL tempat usaha kaum miskin atau tempat di mana mereka berlindung. Mereka digusur dengan alasan menduduki tanah pihak lain secara tidak sah menurut hukum serta mengganggu ketertiban, kebersihan dan keindahan kota.
Penggusuran atas tempat tinggal dan tempat usaha kaum miskin ini menunjukkan bahwa penggusuran kian ditegaskan sebagai strategi dan pola pembangunan, terutama pembangunan kota-kota besar di Indonesia. Sesungguhnya hal yang tampak nyata dari strategi tersebut adalah perlakuan diskriminatif yang dilakukan aparat negara terhadap warganya yang miskin, yang tidak memiliki akses terhadap sumberdaya yang dikuasai negara. Tiadanya bukti legal formal yang dimiliki sebagian besar penduduk miskin atas penguasaan tanah yang mereka jadikan tempat bermukim menjadi landasan pembenaran untuk memperlakukan kaum miskin secara sewenang-wenang tanpa sadar.
Jika berbicara tentang hak untuk penegakan hukum di negeri ini, nampak jelas kepada siapa praktik hukum sebetulnya berpihak. Hukum bisa diatur dan diplintir untuk membela yang kuat. Sekarang inipun kita sedang dihadapkan pada dua persoalan pelanggaran dan penegakan hukum yang demikian menyolok dan kontradiktif. Di satu sisi, jutaan kaum miskin di negeri ini dianggap melanggar hukum karena tidak memiliki hak legal formal atas sepetak lahan yang ditempatinya berjualan. Oleh karena itu mereka digusur, dihancurkan serta harta miliknya dibakar, layaknya orang membersihkan dan membakar sampah. Di sisi lain, pemerintah sibuk mencari jalan untuk melindungi dan membebaskan para konglomerat koruptor dan penjarah harta rakyat lewat kebijakan tukar-guling atau sebuah kebijakan yang menguntungkan pemerintahyang maksudnya tidak lain adalah penghapusan hutang dan melindungi kapitalis.
Posrealitas Politik Ruang
Banyak fakta yang bisa disodorkan untuk menunjukkan, betapa timpangnya hak yang dimiliki antara kaum konglomerat dan rakyat yang melarat. Ketimpangan itu sendiri menegaskan sebuah kekacauan, seolah kita hidup pada jaman batu tanpa negara dan pemerintah. Beragam persoalan penghilangan hak kaum miskin oleh kekuasaan ekonomi–politik yang selama ini telah banyak melucuti hak rakyat. Kepentingan umum adalah sebuah kata lain dari kepentingan bisnis para konglomerat.
Tempat PKL kaum miskin digusur untuk dijadikan lokasi bisnis, perkantoran ataupun pemukiman mewah. Kini alasan kepentingan umum telah bergeser menjadi alasan penegakan hukum demi ketertiban, kebersihan dan keindahan. Meski bergeser rumusannya tetapi substansinya tetaplah sama sehingga negara identik kapitalis. Pengaruh kapitalis Globalisasi merombok cara hidup kita secara besar-besaran yang membawa jejak kuat kekuasaan politik dan ekonomi Amerika, serta mempunyai konsekuensi yang sangat tidak seimbang.
Globalisasi lebih merujuk kepada proses perubahan dalam pola-pola hubungan sosial. Seperti pemikir dalam kelompok ini adalah Anthony Giddens berpendapat bahwa globalisasi adalah serangkaian proses rumit yang bergerak tidak hanya dalam tataran ekonomi tetapi dalam berbagai tataran kehidupan. Globalisasi mentransformasi pola interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Contoh yang nyata, kita lebih mengenal artis idola kita dibandingkan tetangga disekitar rumah kita. Sebagai konsekuensi dari meningkatnya interaksi adalah wilayah jurisdikasi Negara. Batas-batas otoritas hukum Negara menjadi semakin kurang relevan karena ruang dan jarak menjadi tidak bermakna. Manusia sendiri dapat membentuk jaringan walaupun mereka tidak tinggal bersama dalam suatu wilayah Negara tertentu.
Sementara itu David Harvey, menyebutkan bahwa pengorganisasian ruang dan waktu menjadi kunci terhadap kepemilikan kekuasaan. Ruang dan waktu kini lebih memihak kepada pemilik modal daripada buruh. Seperti yang dikatakan David Harvey dari perspektif ekonomi-politik ruang ada 2 hal yang di lihat yaitu kapitalis di kota, dan globalisasi kapitalis di kota. Itu artinya pemilik modal dapat memidahkan modalnya disuatu wilayah yang dianggap dapat memberikan keuntungan yang lebih dengan jangka waktu yang cepat. Menurut D. Harvey bahwa ruang fisik dapat dipengaruhi oleh Globalisasi Kapitalis di Kota sehingga terjadi pemadatan ruang dan waktu. Pemadatan infrastruktur fisik maupun non-fisik. Sehingga Pembangunan ruang kota itu bergantung berada pada kekuatan kapitalis. Yang dimaksud kekuatan kapitalis seperti apa yaitu proses produksi, proses lokasi, proses distribusi barang dan jasa. (*/bersambung)