OPINI – Kata Reklamasi, merupakan sebutan Indonesiaan dari kata asal Bahasa Inggris: Reclaim. To reclaim berarti “menclaim kembali apa yang sebelumnya dimiliki tapi hilang karena sesuatu proses”.
Meng-klaim kembali, reklamasi pantai, dapat diartikan sebagai, ”mengklaim kembali” sebagaian daratan pantai yang awalnya merupakan luasan areal (teresterial/daratan pantai) alamiah, yang karena proses abrasi (erosi) secara gradual sebagian arealnya perlahan lahan hilang karena terkikis gelombang dan arus pantai melalui proses abrasi pasang surut laut dipantai.
Daratan yang hilang itu coba di “reclaim”, diraih kembali dengan cara penimbunan. Penimbunan pada laut dalam, itu bukan reklamasi tapi “merubah struktur dan bentang alam” yang merupakan produk alam.
Kontroversi yang terjadi dengan adanya “penimbunan/reklamasi” di Pantai Malalayang yang merupakan wilayah Minahasa sangat menggelikan, karena disatu pihak Pemerintah Melaporkan telah terjadi kemajuan dalam tingkat pendidikan, tetapi penyelesaian kontroversi sepertinya mengabaikan pentingnya sikap dan tindakan terdidik dalam penyelesaian masalah.
Pengambilan keputusan oleh para pejabat yang tidak didasarkan pada kajian ilmiah merefleksikanj sikap yang “kurang terdidik” kurang “educated” karena berani mengambil keputusan publik tanpa melewati “public decision making process”.
Public decision making process harus didasarkan pada “scientific approach”, pada kajian ilmiah lebih dahulu baru dilempar ke publik dan diproses melalui alur pengambilan keputusan publik yang demokratis, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kenapa Pemkab Minahasa dan Pemprov Sulut tidak mendekati masaalah itu dengan mengedepankan argumentasi berdasarkan “scientific approach” dalam kerangka “public decision making process”.
Kenapa tidak diminta Tim Ilmuwan Independen untuk melakukan “sceintifc assessment” melalui Amdal dan Cost Benefit Analysis untuk menilai apakah “net economic, environmental dan social benefit” dari “reklamsi” Pantai Malalayang” bernilai positif terhadap peningkatan Kesra dan Ekonomi Masyarakat? (Public?).
Apa gunanya di Sulut terdapat sekian ratus Doktor dan Profesor di Unsrat, Unima, Unklab dan lain-lain, tapi mereka tidak berkontribusi? Ayo peran Rektor, tolong dimobilisasi profesional lembaga-lembaga anda untuk melakukan “pencerahan” melalui “scientific power” yang anda miliki.
Geli, kalau Minahasa mengklaim sebagai “suku bangsa terdidik” tapi pentolan- pentolan politisi dan pejabatnya mengabaikan “scientific approach” dan “etika birokrasi” untuk menyelesaikan kontroversi.
Dulu, waktu saya menjabat sebagai Rektor Unsrat, saya menggelar Konferensi Ilmuwan Internasional untuk “menjadi, mencari kebenaran ilmiah menguji hypothesa tercemar atau tidak, menjadi ” “juru damai” dalam kontroversi “Dugaan Pencemaran Pantai Buyat oleh Proyek Pertambangan PT Newmont
Minahasa Raya”.
Pendekatan ilmiah digunakan dan menghindari korban dari kontroversi yang cendrung mau diselesaikan dengan gaya “debat kusir” dan “preman premanan” waktu itu.
Demikain sumbang saran saya.
Prof Lucky Sondakh, Ph.D in Agric Dev. Economics dari Facultry of Economics , Univesity of New England Australia, (1984), Pernah Ketua Bappeda, Kepala Pusat Studi Lingkungan Unsrat, Dekan, Mantan Rektor Unsrat dan Pernah sebagai Pb Ketua II Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi I dan sekarang, Ketua Komisariat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Sulut.
Informasi terakhir Prof Lucky Sondakh akan menjabat Staf Ahli DPRD Sulut dan Economic Advisor Gubernur Provinsi Sulut.