TAN Liong Houw sampai harus memasang dua pengaman kaki sekaligus, menutupi tulang kering dan belakang, saat diperintahkan bermain keras melawat Uni Soviet di quarter final sepak bola Olimpiade Melbourne 1956. Pelatih Tony Pogacnik dan Opa Mangindaan yang meracik strategi itu.
Bagi Liong Houw dan anggota Timnas Garuda lainnya saat itu, anggapan kalau Uni Soviet jauh lebih kuat boleh-boleh saja, tapi di atas lapangan hijau mereka harus berjuang hidup atau mati. Indonesia boleh kalah fisik, tapi semangat tidak.
Dengan Pogacnik dan Opa Mangindaan yang berkontinyu memberikan petunjuk dari tepi lapangan, Endang Wittarsa menjadi jenderal pertahanan dan Maulwi Saelan berdiri sebagai palang terakhir di bawah mistar gawang. Namun Ramang adalah inspirator semangat Indonesia sesungguhnya. Sekali pemain Makassar bertubuh mungil itu berhasil melewati dua bek lawan, dua kali dia menembakkan canon ball-nya ke jala Soviet dan dua kali pula si laba-laba hitam Lev Yashin harus jumpalitan mengamankan gawangnya.
Ketika peluit tanda 90 menit pertandingan dibunyikan wasit, sejatinya tidak ada satu pun penonton di stadion Melboune-Australia menyangka negara yang baru merdeka sedekade lalu itu menahan imbang Uni Soviet, 0-0. Walau di pertandingan kedua Indonesia harus kalah 0-4 akibat kelelahan pada pertandingan sebelumnya, tapi Opa Mangindaan dan tim pulang dengan kepala tegak. FIFA kemudian mencatat Indonesia kontra Uni Soviet di Melbourne ’56 merupakan salah satu hasil-hasil paling mengejutkan dalam sejarah Olimpiade. (ady/habis)