Bagian Kedua – Setelah berhasil mencapai tingkat prestasi dan karier sebagai perwira dan prajurit professional tertinggi di wilayah territorial Indonesia Timur, seingat saya, Om Johny kemudian mengembangkan kariernya di wilayah pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia. Baik yang bersifat internal (khusus) di wilayah TNI-Polri sebagai Kamandan Sesko ABRI, maupun yang bersifat eksternal di wilayah anak bangsa pada umumnya melalui Lembaga Perhanan Nasional, Lemhanas. Saya punya beberapa catatan reflektif tentang ini.
Kiprah dan kinerja Om Johny di wilayah pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia nasional ini tidak bersifat internal dan eksklusif, tetapi lintas komponen dan kompetensi. Bahkan melalui lembaga pendidikan berskala nasional seperti Sesko ABRI (lintas kesatuan militer dan polri) dan Lemhanas (lintas potensi sipil dan militer). Sesko ABRI dan Lemhanas merupakan dua lembaga ujung tombak strategis dalam mempersiapkan secara terpola dan sistematis calon-calon pemimpin tertinggi nasional Indonesia, baik di lingkungan TNI-POLRI, maupun pimpinan nasional pada umumnya.
Atau dengan kata lain, tidak ada pemimpin tertinggi di lingkungan TNI-POLRI Indonesia dan Kemimpinan Nasional Indonesia, yang tidak dibentuk secara terpola dan sistematis melalui peran lembaga pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia seperti Sesko ABRI dan Lemhanas. Di sanalah Om Johny mendapatkan kepercayaan mempersiapkan sumberdaya manusia pemimpin nasional di Indonesia.
Ketika menjalankan tugas dan kepercayaan sebagai Komandan Sesko ABRI dan Gubernur Lemhanas, kelakuan Om Johny untuk Mengelola Profesionalisme Keprajuritan berbasis Kultural, Religi, Kerakyatan dan HAM yang dikembangkan di wilayah territorial Indonesia Timur, tetap konsisten. Saya tidak punya banyak informasi tentang kiprah Om Johny di kedua lembaga pendidikan ini secara detail. Tetapi setidaknya ada beberapa infomasi yang masih saya ingat berkaitan dengan sosok Om Johny di sana.
Pertama, pada waktu Om Johny memimpin kedua lembaga pendidikan tersebut, kondisi ekonomi bangsa berada dalam situasi tidak kondusif atau terpuruk. Om Johny harus mengelola lembaga pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia pemimpin bangsa yang strategis ini dengan dana operasional yang amat sangat terbatas. Bagaimana dengan dana yang amat sangat terbatas itu, kapasitas para calon pemimpin harus tetap dipersiapkan secara baik dan konsisten.
Menghadapi kondisi yang sulit itu, saya pernah ingat Om Johny mengilustrasikan kondisi lembaga keterbatasan yang dialamai di lembaga pendidikan waktu itu dengan ilustrasi “….kalau ditanam cemara di sanapun, cemara itu akan mati..’
Artinya, dengan ilustrasi Om Johny itu ingin ditunjukkan bahwa sekeras-kerasnya medan teritori Indonesia Timur di Tanah Papua, Tim-Tim dan Maluku yang pernah dialaminya, tidak kalah pula kerasnya medan pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia pemimpin nasional Indonesia di Sesko ABRI dan Lemhanas. Dengan ilustrasi “cemara pun bisa mati kalau di tanam di kedua lembaga pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia itu.” Kitorang samua tahu, kalau pohon cemara itu memiliki habitat tumbuh dan berkembang pada wilayah kering, berbukit dan berbatuan. Tetapi kalau di habitat seperti itu, cemara bahkan mati, maka betapa luar-biasanya kondisi keprihatinan lingkungan atau habitat hidup cemara itu.
Dengan memilih cemara sebagai ilustrasi bagi Om Johny, yakni “cemara bisa mati di habitatnya” dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana berat dan kerasnya problematika ketersediaan sumberdaya pendukung dalam mengelola kedua lembaga pengembangan sumberdaya manusia itu sebagai lembaga strategis dalam mempersiapkan para pemimpin nasional Indonesia.
Kedua, dari ilustrasi tersebut saya masih ingat ketika Om Johny pernah bertutur pengalaman ketika dihadapkan dengan dua kenyataan sehari-hari berkaitan dengan prajurit yang menjadi staf pendukung utama operasional, maupun sebagai pengajar atau dosen.
Ilustrasi pengalaman dengan salah seorang staf, ketika pada giliran jaga, ketahuan bahwa yang bersangkutan sering berhalangan. Ketika diselidiki Om Johny, hal mana ternyata berkaitan dengan tingkat kesejahteraan keluarga yang ikut mempengaruhi “terganggunya kinerja dan prestasi prajurit” dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Sementara Om Johny sendiri sadar, kalau biaya operational di lembaga pendidikan amat sangat terbatas untuk menjawab masalah ini. “… cemara pun bisa mati kalau ditanam di sana”, kata Om Johny.
Sebagai seorang prajurit professional dengan semangat kultural, religi, kerakyatan dan HAM, keprihatinan Om Johny terhadap kondisi keprihatinan kesejahteraan keluarga prajurit bawahannya tetap bernyala. Om Johny, kemudian memutuskan untuk mencari dana kesejahteraan prajuritnya itu. Modal yang ada pada Om Johny adalah, kemampuan bermain golf yang di kalangan perwira di Indonesia dan kawasan ASEAN, Om Johny dikenal jagoannya. Modal ini kemudian dikelola Om Johny, walaupun hanya untuk menjawab kondisi mikro prajurit bawahan dan keluarganya.
Om Johny kemudian bermain golf, dan dengan kemampuan professional sebagai pemain golf yang baik, Om Johny memperoleh kemenangan dalam suatu kegiatan golf dan mendapatkan sejumlah uang hasil pertandingan. Seluruh uang yang berjumlah jutaan rupiah pada waktu itu, disiapkan Om Johny untuk diserahkan kepada prajuritnya tersebut.
Besok pagi hari, prajurit yang tidak dapat menjalankan tugas jaganya dengan baik di beberapa hari sebelumnya dipanggil ke kantor. Dengan diliputi rasa takut, was-was dan cemas, prajurit yang bersangkutan menghadap Om Johny. Namun, apa yang dibayangkannya dengan segala kemungkinan pemberlakuan sanksi kedinasan, berubah sama sekali dalam sikap dan perilaku Om Johny. Kepadanya Om Johny memberikan seluruh uang yang didapatnya dari bermain golf yang direncanakannya untuk memperoleh dana bagi kesejahteraan prajuritnya itu. Sang prajurit bawahnya itu merasa seperti terputar-putar pandangan dan hidupnya seperti putaran roda. Ia tidak percaya dan tidak yakin atas apa yang dihadapi dan dialaminya dari panglimanya. Tidak ia bayangkan gaya Om Johny yang menerapkan ketegasan profesionalisme keprajuritannya dengan bahasa komunikasi dan dialog yang menyentuh aspek kultural, religi, kerakyatan dan HAM dari prajurit dan keluarganya dengan mempertaruhkan kapasitas dan potensinya dirinya sebagai pemimpin lembaga pendidikan yang sungguh-sungguh menjunjung kedisiplinan yang kental.
Ketiga, pada contoh kasus yang lain, seingat saya Om Johny pernah tersentak ketika mengetahui, perwira tingginya yang harus mengajar di lembaga pendidikan, datang ke kampus untuk mengajar dengan menggunakan bus atau angkutan umum. Dalam perjalanan dari rumahnya, sang dosen (perwira tinggi) harus membuka pakaian dinasnya, dimasukan ke dalam tas, dan menggunakan fasilitas umum bus ke tempat pendidikan.
Sesampai di kompleks pendidikan, sang perwira pergi ke toilet untuk menggantikan pakaian perjalanannya dengan pakaian dinas, kemudian menuju kelas untuk mengajar. Setelah usai tugas mengajar, sang perwira meninggalkan kelas dan menuju toilet untuk menggantikan pakaian dinas dengan pakaian perjalanannya, dan kembali menggunakan bus pulang ke rumah.
Om Johny kemudian mengambil langkah mengelola dengan bijaksana sumberdaya pendukung pelaksanaan pendidikan yang berada dalam tanggung-jawabnya untuk meningkatkan biaya kesejahteraan para dosennya demi kelancaran pengelolaan pendidikan dan terus mempertahankan kinerja dan keberhasilan pendidikan di lembaga pengembangan sumberdaya manusia pemimpin bangsa yang stratetis tersebut. Bahkan, bagi Om Johny, kalau pun langkah penyelamatan proses pendidikan, kesejahteraan prajurit dan keluarganya itu melawan arus dan beresiko untuk dipecat, ia siap untuk itu. Kata Om Johny dengan gayanya yang khas, “kalau kitorang bisa memenangkan pertempuran di Papua, Tim-Tim dan Maluku tanpa harus memobilasi perang bersenjata, kenapa kitorang harus membiarkan cemara itu mati di habitatnya….” Nampaknya, filosofi cemara inilah yang mengantar Om Johny ke panggung kepemimpinan nasional sebagai Panglima Komando Strategis TNI-Angkatan Darat (pangkostrad) dan Wakil Kepala Staf TNI-AD (wakasad) sebagai puncak karier dan prestasinya. (Bersambung)
Bagian Kedua – Setelah berhasil mencapai tingkat prestasi dan karier sebagai perwira dan prajurit professional tertinggi di wilayah territorial Indonesia Timur, seingat saya, Om Johny kemudian mengembangkan kariernya di wilayah pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia. Baik yang bersifat internal (khusus) di wilayah TNI-Polri sebagai Kamandan Sesko ABRI, maupun yang bersifat eksternal di wilayah anak bangsa pada umumnya melalui Lembaga Perhanan Nasional, Lemhanas. Saya punya beberapa catatan reflektif tentang ini.
Kiprah dan kinerja Om Johny di wilayah pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia nasional ini tidak bersifat internal dan eksklusif, tetapi lintas komponen dan kompetensi. Bahkan melalui lembaga pendidikan berskala nasional seperti Sesko ABRI (lintas kesatuan militer dan polri) dan Lemhanas (lintas potensi sipil dan militer). Sesko ABRI dan Lemhanas merupakan dua lembaga ujung tombak strategis dalam mempersiapkan secara terpola dan sistematis calon-calon pemimpin tertinggi nasional Indonesia, baik di lingkungan TNI-POLRI, maupun pimpinan nasional pada umumnya.
Atau dengan kata lain, tidak ada pemimpin tertinggi di lingkungan TNI-POLRI Indonesia dan Kemimpinan Nasional Indonesia, yang tidak dibentuk secara terpola dan sistematis melalui peran lembaga pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia seperti Sesko ABRI dan Lemhanas. Di sanalah Om Johny mendapatkan kepercayaan mempersiapkan sumberdaya manusia pemimpin nasional di Indonesia.
Ketika menjalankan tugas dan kepercayaan sebagai Komandan Sesko ABRI dan Gubernur Lemhanas, kelakuan Om Johny untuk Mengelola Profesionalisme Keprajuritan berbasis Kultural, Religi, Kerakyatan dan HAM yang dikembangkan di wilayah territorial Indonesia Timur, tetap konsisten. Saya tidak punya banyak informasi tentang kiprah Om Johny di kedua lembaga pendidikan ini secara detail. Tetapi setidaknya ada beberapa infomasi yang masih saya ingat berkaitan dengan sosok Om Johny di sana.
Pertama, pada waktu Om Johny memimpin kedua lembaga pendidikan tersebut, kondisi ekonomi bangsa berada dalam situasi tidak kondusif atau terpuruk. Om Johny harus mengelola lembaga pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia pemimpin bangsa yang strategis ini dengan dana operasional yang amat sangat terbatas. Bagaimana dengan dana yang amat sangat terbatas itu, kapasitas para calon pemimpin harus tetap dipersiapkan secara baik dan konsisten.
Menghadapi kondisi yang sulit itu, saya pernah ingat Om Johny mengilustrasikan kondisi lembaga keterbatasan yang dialamai di lembaga pendidikan waktu itu dengan ilustrasi “….kalau ditanam cemara di sanapun, cemara itu akan mati..’
Artinya, dengan ilustrasi Om Johny itu ingin ditunjukkan bahwa sekeras-kerasnya medan teritori Indonesia Timur di Tanah Papua, Tim-Tim dan Maluku yang pernah dialaminya, tidak kalah pula kerasnya medan pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia pemimpin nasional Indonesia di Sesko ABRI dan Lemhanas. Dengan ilustrasi “cemara pun bisa mati kalau di tanam di kedua lembaga pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia itu.” Kitorang samua tahu, kalau pohon cemara itu memiliki habitat tumbuh dan berkembang pada wilayah kering, berbukit dan berbatuan. Tetapi kalau di habitat seperti itu, cemara bahkan mati, maka betapa luar-biasanya kondisi keprihatinan lingkungan atau habitat hidup cemara itu.
Dengan memilih cemara sebagai ilustrasi bagi Om Johny, yakni “cemara bisa mati di habitatnya” dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana berat dan kerasnya problematika ketersediaan sumberdaya pendukung dalam mengelola kedua lembaga pengembangan sumberdaya manusia itu sebagai lembaga strategis dalam mempersiapkan para pemimpin nasional Indonesia.
Kedua, dari ilustrasi tersebut saya masih ingat ketika Om Johny pernah bertutur pengalaman ketika dihadapkan dengan dua kenyataan sehari-hari berkaitan dengan prajurit yang menjadi staf pendukung utama operasional, maupun sebagai pengajar atau dosen.
Ilustrasi pengalaman dengan salah seorang staf, ketika pada giliran jaga, ketahuan bahwa yang bersangkutan sering berhalangan. Ketika diselidiki Om Johny, hal mana ternyata berkaitan dengan tingkat kesejahteraan keluarga yang ikut mempengaruhi “terganggunya kinerja dan prestasi prajurit” dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Sementara Om Johny sendiri sadar, kalau biaya operational di lembaga pendidikan amat sangat terbatas untuk menjawab masalah ini. “… cemara pun bisa mati kalau ditanam di sana”, kata Om Johny.
Sebagai seorang prajurit professional dengan semangat kultural, religi, kerakyatan dan HAM, keprihatinan Om Johny terhadap kondisi keprihatinan kesejahteraan keluarga prajurit bawahannya tetap bernyala. Om Johny, kemudian memutuskan untuk mencari dana kesejahteraan prajuritnya itu. Modal yang ada pada Om Johny adalah, kemampuan bermain golf yang di kalangan perwira di Indonesia dan kawasan ASEAN, Om Johny dikenal jagoannya. Modal ini kemudian dikelola Om Johny, walaupun hanya untuk menjawab kondisi mikro prajurit bawahan dan keluarganya.
Om Johny kemudian bermain golf, dan dengan kemampuan professional sebagai pemain golf yang baik, Om Johny memperoleh kemenangan dalam suatu kegiatan golf dan mendapatkan sejumlah uang hasil pertandingan. Seluruh uang yang berjumlah jutaan rupiah pada waktu itu, disiapkan Om Johny untuk diserahkan kepada prajuritnya tersebut.
Besok pagi hari, prajurit yang tidak dapat menjalankan tugas jaganya dengan baik di beberapa hari sebelumnya dipanggil ke kantor. Dengan diliputi rasa takut, was-was dan cemas, prajurit yang bersangkutan menghadap Om Johny. Namun, apa yang dibayangkannya dengan segala kemungkinan pemberlakuan sanksi kedinasan, berubah sama sekali dalam sikap dan perilaku Om Johny. Kepadanya Om Johny memberikan seluruh uang yang didapatnya dari bermain golf yang direncanakannya untuk memperoleh dana bagi kesejahteraan prajuritnya itu. Sang prajurit bawahnya itu merasa seperti terputar-putar pandangan dan hidupnya seperti putaran roda. Ia tidak percaya dan tidak yakin atas apa yang dihadapi dan dialaminya dari panglimanya. Tidak ia bayangkan gaya Om Johny yang menerapkan ketegasan profesionalisme keprajuritannya dengan bahasa komunikasi dan dialog yang menyentuh aspek kultural, religi, kerakyatan dan HAM dari prajurit dan keluarganya dengan mempertaruhkan kapasitas dan potensinya dirinya sebagai pemimpin lembaga pendidikan yang sungguh-sungguh menjunjung kedisiplinan yang kental.
Ketiga, pada contoh kasus yang lain, seingat saya Om Johny pernah tersentak ketika mengetahui, perwira tingginya yang harus mengajar di lembaga pendidikan, datang ke kampus untuk mengajar dengan menggunakan bus atau angkutan umum. Dalam perjalanan dari rumahnya, sang dosen (perwira tinggi) harus membuka pakaian dinasnya, dimasukan ke dalam tas, dan menggunakan fasilitas umum bus ke tempat pendidikan.
Sesampai di kompleks pendidikan, sang perwira pergi ke toilet untuk menggantikan pakaian perjalanannya dengan pakaian dinas, kemudian menuju kelas untuk mengajar. Setelah usai tugas mengajar, sang perwira meninggalkan kelas dan menuju toilet untuk menggantikan pakaian dinas dengan pakaian perjalanannya, dan kembali menggunakan bus pulang ke rumah.
Om Johny kemudian mengambil langkah mengelola dengan bijaksana sumberdaya pendukung pelaksanaan pendidikan yang berada dalam tanggung-jawabnya untuk meningkatkan biaya kesejahteraan para dosennya demi kelancaran pengelolaan pendidikan dan terus mempertahankan kinerja dan keberhasilan pendidikan di lembaga pengembangan sumberdaya manusia pemimpin bangsa yang stratetis tersebut. Bahkan, bagi Om Johny, kalau pun langkah penyelamatan proses pendidikan, kesejahteraan prajurit dan keluarganya itu melawan arus dan beresiko untuk dipecat, ia siap untuk itu. Kata Om Johny dengan gayanya yang khas, “kalau kitorang bisa memenangkan pertempuran di Papua, Tim-Tim dan Maluku tanpa harus memobilasi perang bersenjata, kenapa kitorang harus membiarkan cemara itu mati di habitatnya….” Nampaknya, filosofi cemara inilah yang mengantar Om Johny ke panggung kepemimpinan nasional sebagai Panglima Komando Strategis TNI-Angkatan Darat (pangkostrad) dan Wakil Kepala Staf TNI-AD (wakasad) sebagai puncak karier dan prestasinya. (Bersambung)