MANADO – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Utara (Sulut), meminta umat beragama jangan ikut terpancing atas kejadian bentrokan warga dan penganut Ahmadiyah di Desa Cikeusik, Pandeglang, Provinsi Banten. Amin Lasena, Sekertaris MUI Sulut, mengatakan, segala persoalan yang diselesaikan dengan kekerasan akan berujung pada masalah yang panjang. Makanya, bila ada masalah keagamaan di Sulut, MUI Sulut siap mewadahinya.
“Diselesaikan dengan dialog terbuka. Masalah pemahaman itu harus lewat jalur pemahaman juga jangan lewat kekerasan,” katanya, di Sekertariat MUI Sulut Jalan Ahmad Yani, Selasa (08/02). Ia mengungkapkan, khusus di Sulut, jama’ah Ahmadiyah kegiatannya tidak terlalu tampak, aktivitasnya sepi tidak seperti di pulau Jawa. Namun bukan berarti tidak akan timbul rawan konflik, meski pun tidak mengharapkannya. “Dahulu sempat ada di Kotamobagu hampir konflik. Kami harap kalau ada permasalahan tahan emosi, selesaikan dengan dialog,” ujarnya.
Menurutnya, MUI memang pernah mengeluarkan fatwa terhadap larangan ajaran penganut Ahmadiyah, alasannya karena tidak sesuai lagi dengan kepercayaan umat Islam. Tetapi bukan berarti, MUI melegalkan aksi kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan. “Islam tidak mengajarkan kekerasan hingga sampai berujung menghilangkan jiwa seseorang. Semua harus lewat dialog,” kata dosen pendidikan di Universitas Negeri Manado ini.
Karena itu, ia menegaskan, keberadaan MUI, terutama di tiap Kabupaten Kota secara terbuka siap mewadahi dan berupaya semaksimal mungkin menghindari benturan keharmonisan kehidupan umat beragama. “Jangan sampai kehidupan damai kita terusik, terpecah belah yang bisa membawa kehancuran,” ujar Amin, yang juga menjabat sebagai Sekertaris Forum Kerukunan Umat Beragama Sulut ini. (abm)
MANADO – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Utara (Sulut), meminta umat beragama jangan ikut terpancing atas kejadian bentrokan warga dan penganut Ahmadiyah di Desa Cikeusik, Pandeglang, Provinsi Banten. Amin Lasena, Sekertaris MUI Sulut, mengatakan, segala persoalan yang diselesaikan dengan kekerasan akan berujung pada masalah yang panjang. Makanya, bila ada masalah keagamaan di Sulut, MUI Sulut siap mewadahinya.
“Diselesaikan dengan dialog terbuka. Masalah pemahaman itu harus lewat jalur pemahaman juga jangan lewat kekerasan,” katanya, di Sekertariat MUI Sulut Jalan Ahmad Yani, Selasa (08/02). Ia mengungkapkan, khusus di Sulut, jama’ah Ahmadiyah kegiatannya tidak terlalu tampak, aktivitasnya sepi tidak seperti di pulau Jawa. Namun bukan berarti tidak akan timbul rawan konflik, meski pun tidak mengharapkannya. “Dahulu sempat ada di Kotamobagu hampir konflik. Kami harap kalau ada permasalahan tahan emosi, selesaikan dengan dialog,” ujarnya.
Menurutnya, MUI memang pernah mengeluarkan fatwa terhadap larangan ajaran penganut Ahmadiyah, alasannya karena tidak sesuai lagi dengan kepercayaan umat Islam. Tetapi bukan berarti, MUI melegalkan aksi kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan. “Islam tidak mengajarkan kekerasan hingga sampai berujung menghilangkan jiwa seseorang. Semua harus lewat dialog,” kata dosen pendidikan di Universitas Negeri Manado ini.
Karena itu, ia menegaskan, keberadaan MUI, terutama di tiap Kabupaten Kota secara terbuka siap mewadahi dan berupaya semaksimal mungkin menghindari benturan keharmonisan kehidupan umat beragama. “Jangan sampai kehidupan damai kita terusik, terpecah belah yang bisa membawa kehancuran,” ujar Amin, yang juga menjabat sebagai Sekertaris Forum Kerukunan Umat Beragama Sulut ini. (abm)