oleh: Melky Kaunang, Aktifis Pemuda
Pemuda adalah bagian dari masyarakat, bangsa, dan negara. Mereka para insan yang diharap kan berfikir aktif dan bertindak progresif dalam proses interaksi dan komunikasi membangun masa depan.
Sewajarnya kita berharap pemuda jadi tulang punggung peradaban. Mereka para agen transformasi sosial. Salah satu pilar strategis bagi peran pemuda adalah komunikasi aktif, mentransfer gagasan-gagasan aktual bagi kemajuan peradaban bangsa dan negara.
Daya intelektual, spirit anti-kemapanan, serta energi melimpah ruah menjadi keunggulan kaum muda dalam mengemban misi ke masa depan. Terlebih di tengah pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi informasi, yang telah mengubah tatanan hidup masyarakat, bangsa, dan negara. Tak ada lagi batasan manusia satu dengan yang lain dalam hal interaksi dan komunikasi. Ruang berubah sempit, waktu makin relatif, dan manusia bermigrasi ke perkampungan global yang serba transparan.
Bagi pemuda yang posisinya begitu strategis, segala kemajuan itu dapat digunakan untuk meluruskan catatan sejarah. Atau membangun komunikasi yang memekarkan kecintaan dan nasionalisme sebagai bangsa. Sehingga, dari ke hari, bangunan bangsa dan negara kita makin kekar.
Kemajuan teknologi komunikasi semestinya digunakan penuh bagi kepentingan nasional. Lewat transformasi media massa, sebagai bangsa, kita semestinya melahirkan duta-duta baru kebudayaan dan olahraga. Juga mengirim para diplomat handal untuk mengampanyekan gotong-royong dan Bhineka Tunggal Ika ke seantero jagat.
Indonesia bagian dari komunitas dunia. Pancasila jangan hanya berhenti pada nasionalisme (persatuan). Tapi sekaligus menganjurkan pula internasionalisme berperikemanusiaan. Kebutuhannya sekarang, bagaimana itu dikomunikasikan dengan dunia luar. Jalinan komunikasi yang tentunya berpijak pada kepentingan nasional sebagai negara-bangsa yang besar.
Kita ingin duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan bangsa lain. Tak ada rasa minder, hina, atau rendah diri. Kita sepatutnya bangga karena Bung Karno pernah memelopori Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok untuk membangun keseimbangan ekosistem dunia baru.
Kita pernah mengatakan go to hell with your aid, sebagai bentuk komunikasi politik dan ekonomi kita di dunia internasional. Bahkan, kita pernah menjadi polisi kawasan Asia Pasifik saat satelit palapa dengan perkasa memantau semua aktivitas negara-negara tetangga.
Dari beberapa perspektif di atas, kiranya kita perlu merefleksikan kondisi bangsa dan negara hari ini dan ke depan. Pilar-pilar kebangsaan harus kembali cermat diperiksa. Salah satu pilar penting membangun nasionalisme adalah bahasa sebagai sarana komunikasi.
Dulu, para pendiri negeri dan pejuang bangsa, menggelorakan spirit nasionalisme lewat slogan “merdeka atau mati”, “Bhinneka Tunggal Ika”, dan sejenisnya. Artinya, nasionalisme pertama kali dibangun lewat komunikasi. Ya, nasionalisme dapat ditingkatkan lewat kemampuan komunikasi yang mumpuni. Hari ini, faktanya, Indonesia tak punya kemampuan komunikasi yang memadai.
Di depan rakyat, ucapan pejabat negara dianggap angin lalu. Di hadapan bangsa lain, diplomasi kita begitu lemah. Diplomasi budaya, politik,militer, dan ekonomi perdagangan nyaris selalu kalah vis-à-vis bangsa lain.
Disinilah peluang kaum muda saat ini. Kekhasannya, seperti spontan, berani, dan jujur, jadi modal tersendiri bagi kemajuan bangsa dan komunikasi politik. Sayang, kebanyakan pemuda justru tak menyadarinya. Mereka tak paham betul batang tubuh nasionalisme. Juga tak mendalami makna penting nasionalisme bagi maju-mundurnya bangsa. Akibatnya, masa depan nasionalisme terancam. Mereka tak punya spirit nasionalisme setajam bambu runcing.
Mereka hidup di Indonesia tapi tak paham ke-Indonesiaan itu sendiri. Penyebabnya, komunikasi tidak efektif antargenerasi, antara pemimpin dan rakyat, pemerintah dan warga. Bangsa ini makin rapuh karena yang tercipta justru budaya amuk. Pertikaian demi pertikaian terjadi; yang tua saling gugat hasil Pemilukada, yang muda sibuk tawuran antar sekolah dan kampung. Semua ini akibat tersumbatnya komunikasi.
Itulah potret sosial Indonesia dan ke-Indonesia-an hari ini. Rasa kebangsaan dikalahkan semangat primordialisme, kelompok/golongan, dan segelintir penguasa.
Sudah saatnya generasi muda meletakkan ke-Indonesia- an dalam rahim pergerakan patriotik. Tersedia dua pilihan: stop pertikaian dan dongkrak potensi diri lewat ilmu pengetahuan; atau menjadi pemuda bersemboyan que serasera (yang terjadi, terjadilah).
Bertolak dari pilihan di atas, seluruh energi negatif (primordialisme, kesukuan, dan sekte keagamaan) yang menggerus nasionalisme harus dipinggirkan atas nama persatuan, patriotisme, dan tujuan nasional. Asal-usul lahirnya bangsa Indonesia adalah kesamaan nasib akibat berlarut-larut dijajah politik kolonialisme negeri imperialis. Prinsip persatuan dan nasionalisme anti-kolonialisme menjadi spirit utama pembentuk bangsa.
Satu-satunya optimisme menuju harapan baru adalah membangun generasi muda yang unggul, ideologis, dan progresif. Kaum muda yang menyatupadukan segenap kekuatan nasional dari Sabang sampai Merauke. Demi membentuk karakter bangsa yang berdaulat dan mandiri.
Nasionalisme membicarakan cinta tanah air serta kerelaan berikrar dan mengikatkan diri pada kelompok dan bangsa yang lebih besar. John F. Kennedy memberi kita pelajaran, “Right or wrong is my country!” Tak ragu lagi, pernyataan ini berimplikasi bahwa apapun yang dilakukan bangsa saya harus didukung sepenuh hati, terlepas benar atau salah. Alhasil, sosok “nasionalis sejati” menjunjung tinggi nilai kemanusiaan universal serta mencintai bangsa dan negaranya, melebihi kecintaannya pada etnis budaya, agama, partai, atau rasnya. (*)
oleh: Melky Kaunang, Aktifis Pemuda
Pemuda adalah bagian dari masyarakat, bangsa, dan negara. Mereka para insan yang diharap kan berfikir aktif dan bertindak progresif dalam proses interaksi dan komunikasi membangun masa depan.
Sewajarnya kita berharap pemuda jadi tulang punggung peradaban. Mereka para agen transformasi sosial. Salah satu pilar strategis bagi peran pemuda adalah komunikasi aktif, mentransfer gagasan-gagasan aktual bagi kemajuan peradaban bangsa dan negara.
Daya intelektual, spirit anti-kemapanan, serta energi melimpah ruah menjadi keunggulan kaum muda dalam mengemban misi ke masa depan. Terlebih di tengah pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi informasi, yang telah mengubah tatanan hidup masyarakat, bangsa, dan negara. Tak ada lagi batasan manusia satu dengan yang lain dalam hal interaksi dan komunikasi. Ruang berubah sempit, waktu makin relatif, dan manusia bermigrasi ke perkampungan global yang serba transparan.
Bagi pemuda yang posisinya begitu strategis, segala kemajuan itu dapat digunakan untuk meluruskan catatan sejarah. Atau membangun komunikasi yang memekarkan kecintaan dan nasionalisme sebagai bangsa. Sehingga, dari ke hari, bangunan bangsa dan negara kita makin kekar.
Kemajuan teknologi komunikasi semestinya digunakan penuh bagi kepentingan nasional. Lewat transformasi media massa, sebagai bangsa, kita semestinya melahirkan duta-duta baru kebudayaan dan olahraga. Juga mengirim para diplomat handal untuk mengampanyekan gotong-royong dan Bhineka Tunggal Ika ke seantero jagat.
Indonesia bagian dari komunitas dunia. Pancasila jangan hanya berhenti pada nasionalisme (persatuan). Tapi sekaligus menganjurkan pula internasionalisme berperikemanusiaan. Kebutuhannya sekarang, bagaimana itu dikomunikasikan dengan dunia luar. Jalinan komunikasi yang tentunya berpijak pada kepentingan nasional sebagai negara-bangsa yang besar.
Kita ingin duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan bangsa lain. Tak ada rasa minder, hina, atau rendah diri. Kita sepatutnya bangga karena Bung Karno pernah memelopori Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok untuk membangun keseimbangan ekosistem dunia baru.
Kita pernah mengatakan go to hell with your aid, sebagai bentuk komunikasi politik dan ekonomi kita di dunia internasional. Bahkan, kita pernah menjadi polisi kawasan Asia Pasifik saat satelit palapa dengan perkasa memantau semua aktivitas negara-negara tetangga.
Dari beberapa perspektif di atas, kiranya kita perlu merefleksikan kondisi bangsa dan negara hari ini dan ke depan. Pilar-pilar kebangsaan harus kembali cermat diperiksa. Salah satu pilar penting membangun nasionalisme adalah bahasa sebagai sarana komunikasi.
Dulu, para pendiri negeri dan pejuang bangsa, menggelorakan spirit nasionalisme lewat slogan “merdeka atau mati”, “Bhinneka Tunggal Ika”, dan sejenisnya. Artinya, nasionalisme pertama kali dibangun lewat komunikasi. Ya, nasionalisme dapat ditingkatkan lewat kemampuan komunikasi yang mumpuni. Hari ini, faktanya, Indonesia tak punya kemampuan komunikasi yang memadai.
Di depan rakyat, ucapan pejabat negara dianggap angin lalu. Di hadapan bangsa lain, diplomasi kita begitu lemah. Diplomasi budaya, politik,militer, dan ekonomi perdagangan nyaris selalu kalah vis-à-vis bangsa lain.
Disinilah peluang kaum muda saat ini. Kekhasannya, seperti spontan, berani, dan jujur, jadi modal tersendiri bagi kemajuan bangsa dan komunikasi politik. Sayang, kebanyakan pemuda justru tak menyadarinya. Mereka tak paham betul batang tubuh nasionalisme. Juga tak mendalami makna penting nasionalisme bagi maju-mundurnya bangsa. Akibatnya, masa depan nasionalisme terancam. Mereka tak punya spirit nasionalisme setajam bambu runcing.
Mereka hidup di Indonesia tapi tak paham ke-Indonesiaan itu sendiri. Penyebabnya, komunikasi tidak efektif antargenerasi, antara pemimpin dan rakyat, pemerintah dan warga. Bangsa ini makin rapuh karena yang tercipta justru budaya amuk. Pertikaian demi pertikaian terjadi; yang tua saling gugat hasil Pemilukada, yang muda sibuk tawuran antar sekolah dan kampung. Semua ini akibat tersumbatnya komunikasi.
Itulah potret sosial Indonesia dan ke-Indonesia-an hari ini. Rasa kebangsaan dikalahkan semangat primordialisme, kelompok/golongan, dan segelintir penguasa.
Sudah saatnya generasi muda meletakkan ke-Indonesia- an dalam rahim pergerakan patriotik. Tersedia dua pilihan: stop pertikaian dan dongkrak potensi diri lewat ilmu pengetahuan; atau menjadi pemuda bersemboyan que serasera (yang terjadi, terjadilah).
Bertolak dari pilihan di atas, seluruh energi negatif (primordialisme, kesukuan, dan sekte keagamaan) yang menggerus nasionalisme harus dipinggirkan atas nama persatuan, patriotisme, dan tujuan nasional. Asal-usul lahirnya bangsa Indonesia adalah kesamaan nasib akibat berlarut-larut dijajah politik kolonialisme negeri imperialis. Prinsip persatuan dan nasionalisme anti-kolonialisme menjadi spirit utama pembentuk bangsa.
Satu-satunya optimisme menuju harapan baru adalah membangun generasi muda yang unggul, ideologis, dan progresif. Kaum muda yang menyatupadukan segenap kekuatan nasional dari Sabang sampai Merauke. Demi membentuk karakter bangsa yang berdaulat dan mandiri.
Nasionalisme membicarakan cinta tanah air serta kerelaan berikrar dan mengikatkan diri pada kelompok dan bangsa yang lebih besar. John F. Kennedy memberi kita pelajaran, “Right or wrong is my country!” Tak ragu lagi, pernyataan ini berimplikasi bahwa apapun yang dilakukan bangsa saya harus didukung sepenuh hati, terlepas benar atau salah. Alhasil, sosok “nasionalis sejati” menjunjung tinggi nilai kemanusiaan universal serta mencintai bangsa dan negaranya, melebihi kecintaannya pada etnis budaya, agama, partai, atau rasnya. (*)