Bitung – Dugaan lahan yang digunakan untuk membangun 50 unit bantuan rumah khusus nelayan di Kelurahan Winenet Satu Kecamatan Aertembaga bermasalah terbukti.
Baca: Lahan Bantuan Rumah Nelayan di Winenet Diduga Bermasalah
Hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi C DPRD Kota Bitung, Senin (25/09/2017) terkait pembangunan 50 unit bantuan rumah khusus nelayan.
Dalam RDP diketahui jika lahan seluas 1,5 hektar itu adalah milik mantan anggota DPRD Kota Bitung, Anthonius Supit dan saat ini sementara berproses untuk pembayaran pembebasan lahan dengan Pemkot.
“Lahan itu jadi lokasi proyek karena ada kesepakatan antara pemilik lahan yakni Anthonius dan kontraktor PT Delima Agung Utama, Ferry Tambatjong,” kata Seperman, Selasa (26/09/2017.
Karena ada miskomunikasi Ko’ Hen sapaan akrab Anthonius mempermasalahkan dan menuntut pembebasan lahan sebagai kompensasi hingga memicu polemik lain yang berimbas ke kegiatan proyek.
“Apalagi klaim Ko’ Hen diakui Ko’ Ferry (sapaan Ferry Tambatjong). Dia mengaku lahan itu belum jadi milik dia. Otomatis ini menimbulkan pertanyaan baru. Bagaimana bisa proyek pemerintah dibangun di atas lahan swasta? Apa ada manipulasi data atau bagaimana?,” katanya.
Padahal kata kader PKPI ini, berdasarkan pada ketentuan berlaku, proyek pemerintah tidak boleh dilaksanakan di lahan swasta atau lahan yang jadi lokasi proyek harus milik pemerintah, ataupun milik swasta yang sudah dihibahkan.
“Tapi dalam kasus ini dokumen hibah belum ada. Padahal dokumen itu jadi syarat proyek ini turun ke Kota Bitung. Sebab proyek ini didanai oleh pemerintah pusat. Contohnya seperti rencana renovasi Stadion Duasudara, sejauh ini tidak bisa dilakukan karena belum milik pemerintah,” jelasnya.
Hal senada disampaikan anggota Komisi C DPRD Kota Bitung, Syam Panai. Ia mengaku tidak habis pikir proyek bantuan pusat itu bisa ada tanpa melihat dokumen status tanah.
“Sebelum proyek ini turun pemerintah daerah harus kirim proposal ke pusat. Nah, proposal ini harus disertai dokumen hibah lahan karena itu syarat utama agar proyek bisa dilaksanakan,” katanya.
Herannya, kata dia, dokumen itu tidak ada tapi proyek bisa terlaksana, terbukti sekarang sudah hampir selesai dilaksanakan yakni 50 unit rumah nelayan sudah hampir tuntas.
“Ini baru dibilang aneh tapi nyata dan kalau ditelusuri bisa saja ada unsur pidananya,” katanya.
Sam berharap masalah ini bisa diatasi dengan mendorong pihak terkait untuk mencari jalan keluar atas polemik status tanah itu karena tujuannya dan mafaatnya positif tapi sayang prosesnya bermasalah.
Ko’ Ferry sendiri mengakui jika dokumen hibah tanah itu belum ada dan masih sementara berproses.
“Sementara diurus, tapi itu bukan masalah, yang penting proyek ini terlaksana baik dan tidak merugikan negara,” katanya.
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Pemkot Bitung, Hendri Sakul mengaku tidak tahu-menahu dengan dokumen hibah dimaksud.
“Waktu proposal dikirim saya tidak tahu, soalnya saya masih tugas di tempat lain. Itu dikirim tahun lalu,” katanya.
Dari informasi sendiri, tanah milik Anthonius Supit itu bakal dibayar Pemkot sebesar Rp1.5 miliar lebih.
Dan bantuan itu berasal dari pemerintah pusat dengan nilai Rp7.860.645.000 untuk 50 unit rumah dan saat ini sudah dalah tahap finishing.(abinenobm)
Bitung – Dugaan lahan yang digunakan untuk membangun 50 unit bantuan rumah khusus nelayan di Kelurahan Winenet Satu Kecamatan Aertembaga bermasalah terbukti.
Baca: Lahan Bantuan Rumah Nelayan di Winenet Diduga Bermasalah
Hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi C DPRD Kota Bitung, Senin (25/09/2017) terkait pembangunan 50 unit bantuan rumah khusus nelayan.
Dalam RDP diketahui jika lahan seluas 1,5 hektar itu adalah milik mantan anggota DPRD Kota Bitung, Anthonius Supit dan saat ini sementara berproses untuk pembayaran pembebasan lahan dengan Pemkot.
“Lahan itu jadi lokasi proyek karena ada kesepakatan antara pemilik lahan yakni Anthonius dan kontraktor PT Delima Agung Utama, Ferry Tambatjong,” kata Seperman, Selasa (26/09/2017.
Karena ada miskomunikasi Ko’ Hen sapaan akrab Anthonius mempermasalahkan dan menuntut pembebasan lahan sebagai kompensasi hingga memicu polemik lain yang berimbas ke kegiatan proyek.
“Apalagi klaim Ko’ Hen diakui Ko’ Ferry (sapaan Ferry Tambatjong). Dia mengaku lahan itu belum jadi milik dia. Otomatis ini menimbulkan pertanyaan baru. Bagaimana bisa proyek pemerintah dibangun di atas lahan swasta? Apa ada manipulasi data atau bagaimana?,” katanya.
Padahal kata kader PKPI ini, berdasarkan pada ketentuan berlaku, proyek pemerintah tidak boleh dilaksanakan di lahan swasta atau lahan yang jadi lokasi proyek harus milik pemerintah, ataupun milik swasta yang sudah dihibahkan.
“Tapi dalam kasus ini dokumen hibah belum ada. Padahal dokumen itu jadi syarat proyek ini turun ke Kota Bitung. Sebab proyek ini didanai oleh pemerintah pusat. Contohnya seperti rencana renovasi Stadion Duasudara, sejauh ini tidak bisa dilakukan karena belum milik pemerintah,” jelasnya.
Hal senada disampaikan anggota Komisi C DPRD Kota Bitung, Syam Panai. Ia mengaku tidak habis pikir proyek bantuan pusat itu bisa ada tanpa melihat dokumen status tanah.
“Sebelum proyek ini turun pemerintah daerah harus kirim proposal ke pusat. Nah, proposal ini harus disertai dokumen hibah lahan karena itu syarat utama agar proyek bisa dilaksanakan,” katanya.
Herannya, kata dia, dokumen itu tidak ada tapi proyek bisa terlaksana, terbukti sekarang sudah hampir selesai dilaksanakan yakni 50 unit rumah nelayan sudah hampir tuntas.
“Ini baru dibilang aneh tapi nyata dan kalau ditelusuri bisa saja ada unsur pidananya,” katanya.
Sam berharap masalah ini bisa diatasi dengan mendorong pihak terkait untuk mencari jalan keluar atas polemik status tanah itu karena tujuannya dan mafaatnya positif tapi sayang prosesnya bermasalah.
Ko’ Ferry sendiri mengakui jika dokumen hibah tanah itu belum ada dan masih sementara berproses.
“Sementara diurus, tapi itu bukan masalah, yang penting proyek ini terlaksana baik dan tidak merugikan negara,” katanya.
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Pemkot Bitung, Hendri Sakul mengaku tidak tahu-menahu dengan dokumen hibah dimaksud.
“Waktu proposal dikirim saya tidak tahu, soalnya saya masih tugas di tempat lain. Itu dikirim tahun lalu,” katanya.
Dari informasi sendiri, tanah milik Anthonius Supit itu bakal dibayar Pemkot sebesar Rp1.5 miliar lebih.
Dan bantuan itu berasal dari pemerintah pusat dengan nilai Rp7.860.645.000 untuk 50 unit rumah dan saat ini sudah dalah tahap finishing.(abinenobm)