Airmadidi-Meskipun pemerintah pusat telah memberikan sejumlah keringanan kepada masyarakat baik itu dalam pengurusan administrasi kependudukan, kesehatan, pendidikan dan lainnya, namun beban masyarakat tak juga ringan.
Apa sebab? Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat masih bertemu dengan pungutan-pungutan yang diatur melalui Peraturan Desa (Perdes) yang terkadang bertabrakan dengan aturan pusat.
Di Minut, ada beberapa contoh perdes unik, salah satunya di Desa Matungkas Kecamatan Dimembe yang mewajibkan seluruh warga khususnya pendatang untuk membayar lahan pekuburan dengan harga sekitar Rp1 juta sampai Rp5 juta per KK, baru bisa mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Ini disayangkan apalagi bagi warga yang belum membayar biaya pekuburan, jika ada anggota keluarga yang meninggal, jenazah dilarang masuk ke desa.
“Bahkan untuk ibadah pemakaman saja, tidak diizinkan pemerintah desa. Walaupun jenazah memang akan dikubur di desa lain,” keluh salah satu warga Matungkas, Selasa (26/7/2016).
Sementara itu, salah satu perangkat desa Matungkas ketika dikonfirmasi mengatakan, perihal uang kubur memang diatur melalui Perdes.
“Entah itu mau dikubur di desa ini atau desa lain, uang kubur harus dibayarkan,” ujar petugas yang minta namanya tidak dipublikasi.
Ketika ditanyakan apakah uang tersebut akan dikembalikan oleh pemeritah jika warga tidak menggunakan lahan pekuburan, petugas menjelaskan uang tidak bisa diambil kembali.
“Ini seperti obat kampung. Sejak lama, sudah aturannya begitu,” sambung petugas.
Lain Desa Matungkas, lain pula di Desa Watutumou III Kecamatan Kalawat.
Baru-baru ini, Nia, warga Kota Manado yang berencana pindah domisili ke Desa Watutumou III, dimintai retribusi sebesar Rp2,5 juta dari kepala desa.
“Saya ini juga perangkat pemerintah di Manado, dan setahu saya memang ada yang seperti itu, tapi tidak terlalu tinggi hingga capai Rp2,5 juta. Paling ratusan ribuan saja. Ini aturan regulasinya dari mana,” keluh Nia.
Sementara itu di Desa Kaima Kecamatan Kauditan, sejumlah warga keberatan dengan pemerintah setempat karena diminta membayar uang kerja bakti sebesar Rp150 ribu per orang.
“Kami di jaga V, jaga VI dan jaga XI, diminta Rp50 ribu per laki-laki dewasa. Bahkan ada yang sampai Rp150 ribu. Itu sesuai surat keterangan tagihan partisipasi dari pemerintah desa,” kata salah seorang warga.
Karena tidak membayar, petugas desa pun datang membawa selembar surat pemberitahuan bahwa warga tersebut diminta meninggalkan Desa Kaima dalam kurun waktu 1×24 jam sejak surat dikeluarkan.
Terkait kejadian ini, Ketua LSM GMBI Howard Hendrik Marius ikut angkat bicara.
“Menurut penjelasan kumtua, uang itu juga menyangkut sanksi kerja bakti warga pendatang. Yang turut serta bekerja bakti hanya dipungut biaya sebesar Rp50 ribu saja, sedangkan yang tidak kerja bakti didenda atau diberi sanksi bayar berupa kewajiban menyetor sebesar Rp100 ribu,” katanya.
Namun hingga berita ini diturunkan, pihak pemerintah desa Kaima belum bisa dikonfirmasi terkait dugaan pengusiran 8 warga Kaima.(findamuhtar)