Bitung—Kecewa dengan sikap Pemkot Bitung, 20 ribu kepala keluarga (KK) warga yang tergabung dalam masyarakat adat Manembo-nembo, Sagerat dan Tanjung Merah (Masata) melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Kota Bitung, Senin (30/4). Gugatan ini sendiri dilakukan masyarakat adat Masata terkait tanah eks erpafacht seluas 92,6 hektar di Kelurahan Tanjung Merah yang kini telah di plot sebagai kawasan industri dan pergudangan dalam Ranperda RTRW Kota Bitung 2011-2031.
Ke-20 ribu KK ini sendiri mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Kota Bitung sekitar pukul 11.15 Wita atas nama tiga perwakilan masyarakat adat Masata, John Wantah, Dolfie Rumampuk dan Hety Watuna. Dan berkas gugatan ini diterima Pamud Perdata, serta terdaftar di Pengadilan Negeri Kota Bitung dengan nomor 38/PDT.G/2012/PN-BTG.
Dalam gugatan yang diajukan Wantah Cs, Walikota Bitung, Hanny Sondakh dan Ketua DPRD yakni Santy Gerald Luntungan, Maurits Mantiri dan Babby Palar menjadi tergugat satu dan dua karena dianggap hanya memberikan janji-janji untuk memberikan rekomendasi lahan eks erpafacht seluas 92,6 hektar di Kelurahan Tanjung Merah. Namun hingga kini janji tersebut tidak pernah direalisasikan, malah dalam RTRW lahan tersebut dijadikan sebagai lahan industri dan pergudangan. Bukan pemukiman bagi warga masyarakat adat Masata.
“Selain walikota dan Ketua DPRD, kami juga menggugat Komisi A DPRD sebagai tergugat tiga karena tidak mampu menyuarakan aspirasi kami untuk mendapatkan hakatas tanah eks erpafacht yang notabene merupakan tanah ulayat masyarakat adat Masata,” kata Wantah.
Menurut Wantah, dalam hearing terakhir, para tergugat menyatakan mendukung warga adat Masata mempertahankan tanah seluas 92,6 hektar. Namun hal dukungan tersebut hanyalah lips service semata, karena dimana dalam Ranperda RTRW yang terlah disahkan memasukan lahan tersebut sebagai kawasan industri dan pergudangan serta tidak mengakomodir hak warga adat Masata untuk penguasaaan dan menggarap tanah tersebut.
“Kami terus terang sakit hati, karena para tergugat hanya mempemainkan dengan perntayaan politis dan benar-benar tidak berpihak kepada kami,” katanya.
Masyarakat adat Masata lebih sakit hati ketika mengetahui para tergugat yang telah mengesahkan Ranperda RTRW Kota Bitung tahun 2011-2031 dan tidak mengakomodir aspirasi masyarakat adat. Akibatnya hal tersebut dianggap sangat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
“Sehingga kami selaku penggugat dirugikan dan itu harus ditanggung oleh para tergugat,” katanya.
Masyarakat adat Masata sendiri meminta ganti rugi kepada para tergugat berupa kerugian material dan immaterial. Dimana untuk kerugian Material mereka meminta Rp 10 miliar untuk tergugat satu, Rp 12 miliar untuk tergugat dua dan Rp5 miliar untuk tergugat tiga serta tuntutan Immaterial sejumlah Rp 25 miliar.(en)