Bitung – Mendapat penghargaan di bidang lingkungan sekelas Piala Adipura, tentunya sebuah kebanggaan masyarakat di sebuah daerah. Namun hal berbeda dengan yang terjadi di Kota Bitung.
Puluhan Komunitas Pecinta Alam (KPA) Kota Bitung, Senin (15/11/2015) menggelar aksi unjuk rasa damai di depan Kantor Walikota.
Dalam aksi yang dijaga ketat Polres Bitung, KPA menyerukan penolakan terhadap penghargaan Adipura yang rencana tahun ini akan diterima kembali oleh Kota Cakalang.
Orator Ronal Mokalu menyampaikan alasan penolakan Adipura disebabkan selang tahun 2014 dan 2015 Pemkot Bitung gencar melakukan penebangan pohon massal sehingga merusak paru-paru kota. Begitu pula kebakaran hutan dan cagar alam Tangkoko seluas 800 hektar namun tak ada kepedulian pemerintah.
“Sampai pada 3000 hektar kondisi hutan terbakar baru pemerintah mulai bergerak tanpa memberi bantuan logistik bagi para relawan,” kata Mokalu.
Dalam tuntutannya para relawan meminta agar pemerintah lebih serius lagi dalam menangani bencana kebakaran hutan cagar alam yang menyimpan satwa endemik yang keberadaannya terancam punah dengan musibah tersebut.
Wakil Walikota Bitung Max Jonas Lomban menyambut baik aksi damai tersebut. Ia menjelaskan bahwa kewenangan mengatur hutan cagar alam itu ada di APBN bukan di APBD “Sehingga penanganan bencana kebakaran hutan tidak dianggarkan di APBD Kota Bitung, namun Pemkot Bitung telah mengambil kebijakan untuk membantu para relawan yang memadamkan api walaupun penganggaranya tidak ada di APBD,” jelas Lomban.
Menurut Lomban aksi yang dilakukan para relawan sangat baik dan berharap adanya perwakilan dari para relawan untuk mengevalusi sejauh mana tindak lanjut Pemkot Bitung dalam menangani hal ini.
“Terkait penolakan penghargaan Adipura, nanti saya akan menyurat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan disertai rekomendasi KPA Tangkoko supaya Adipura tahun 2016 untuk Kota Bitung ditunda demi pembenahan lingkungan,” ujar Lomban.
Usai berorasi di Kantor Walikota, massa kemudian melanjutkan aksi ke Kantor Dekot Bitung.
Sayang, aksi ini hanya diterima 3 legislator yaitu Jhon Hamber, Franky Julianto dan Jantje Lambey.(Finda Muhtar)