Manado, BeritaManado.com – Usul kalangan legislatif agar Pilkada Serentak dikembalikan kepada DPRD demi efisiensi anggaran, dimaklumi oleh kalangan akademisi.
Dosen Kepemiluan Fisip Universitas Sam Ratulangi, Dr Ferry Liando mengakui pemikiran tersebut bisa saja menjadi solusi di tengah pandemi COVID-19.
Namun kata Ferry Liando, sejauh ini belum ada payung hukum yang mengatur pilkada tidak langsung.
Sehingga jika kemudian diambilalih DPRD, memerlukan waktu panjang lagi.
“Otomatis harus membuat undang-undangnya dulu, atau minimal merevisi aturan yang ada,” terangnya.
Namun, lagi-lagi Liando kurang sependapat jika pilkada harus buru-buru dihelat Desember 2020.
“Kita masih mengacu pada pilkada langsung. Jika digelar Desember, maka tahapan harus mulai Juni 2020. Tentunya dalam tahapan akan ada interaksi. Ini sangat tidak aman,” tegasnya.
Ia menjelaskan, Korea Selatan menjadi negara yang menggelar pemilu di saat pandemi.
Namun katanya, sistim pemilih di sana jauh berbeda dengan tanah air.
“Mereka punya anggaran cadangan cukup, pendataan pemilih dan penghitungan suara menggunakan mesin. Masyarakat Korea Selatan juga percaya dengan penyelengara pemilu, sehingga tidak terpengaruh dengan hoax atau politik uang,” jelas Liando.
Hal lainnya tambah dia, adalah memperhitungkan faktor cuaca.
“Desember adalah musim hujan bagi Sulut dan sebagian besar daerah di Indonesia. Ini perlu dipertimbangkan lagi, karena pilkada erat kaitannya dengan distribusi logistik,” tandasnya.
Pilkada oleh DPRD
Sebelumnya, Anggota DPRD Provinsi Sulut, Julius Jems Tuuk menegaskan pilkada serentak harus digelar 9 Desember 2020.
Menurut Politisi PDI Perjuangan ini, andaikan dimundur lagi, proses tersebut akan menganggu tatanan pemerintahan, sebab harus menyiapkan ratusan pejabat sementara sebagai pemimpin daerah.
“Nah meskipun itu tidak salah, namun cukup menganggu program-program yang sudah berjalan,” kata Julius Jems Tuuk, .
Jems menegaskan, selain harus digelar akhir tahun, pilkada juga mesti memikirkan standar keselamatan publik.
Solusinya adalah menyerahkah proses pemilihan kepada DPRD.
Langkah ini kata dia, merupakan jalan keluar terbaik di tengah pandemi COVID-19 yang masih mengancam.
“Kalau pilkada langsung, apakah yakin warga mau datang ke TPS. Partisipasi pasti mengecewakan. Belum lagi tahapan yang harus mengumpulkan banyak orang. Bimtek, sosialisasi dan semacamnya. Ini sangat rawan di tengah wabah corona,” bebernya.
Jems mengatakan bahwa roh dari pilkada adalah kesejahteraan masyarakat.
Bagaimana kebijakan para pemimpin daerah bisa memahami kondisi dan keluhan rakyatnya.
“Itu poin sebenarnya. Jadi apapun bentuknya, tujuan dari pilkada itu untuk kemaslahatan orang banyak,” bebernya.
Selain aman dari ancaman COVID-19, lanjut Tuuk, Pilkada Desember juga sangat efisien dari segi anggaran.
Lebih-lebih, Pilkada 2020 menyedot anggaran hingga Rp15,3 Triliun lebih.
“Kalau dilaksanakan DPRD, anggaran ini bisa dialihkan bagi rakyat. Lebih jelas tujuannya, ketimbang pengadaan logisitik dan sebagainya,” ujar Jems.
Menurut dia, pemerintah harus lebih peka melihat kondisi masyarakat saat ini.
Dengan hantaman badai corona, sendi-sendi ekonomi terganggu.
Banyak yang kehilangan pekerjaan hingga untuk makan saja susah.
“Rp15 Triliun bisa dipakai membeli 1,7 ton beras. Cukup memberikan 270 juta rakyat kita selama sebulan. Bahkan kalau dipakai beli sapi, dapat tiga juta ekor. lebih jelas manfaatnya,” tandasnya.
(Alfrits Semen)