Maumbi – Ironis, mengikuti kejuaraan nasional bridge tingkat pelajar dan mahasiswa di Yogyakarta pada Oktober lalu, tim yang dipilih atau dibiayai memakai dana daerah, kalah bersaing dengan tim yang dananya di dapat dari jualan kue.
Tim Bridge ‘Jualan Kue’ adalah dua tim dari SMP 2 Kalawat dan 1 tim dari SMAN 1 Airmadidi. Peringkat ke-4 dan ke-5 diraih dari tim bridge SMP 2 Kalawat.
Dondokambey Wuisan sebagai pelatih tim bridge, mengakui kemenangan tim bridge SMP 2 Kalawat merupakan satu-satunya tim final utusan Sulut. “Tim lainnya sudah gugur sejak babak penyisihan,” ujar Dondo sapaan akrabnya
Jika dilihat dari latar perjuangan, Minahasa Utara bisa dikenal justru karena tim bridge yang bersusah payah mencari dana dengan berjualan kue.
“Proposal kami ditolak. Sekitar dua minggu sebelum keberangkatan, kami tak miliki dana. Kami pun berinisiatif bersama tim untuk menjual kue dor to dor,” jelas Dondo.
Menurut Dondo, pihak managemen atau kepengurusan bridge Minut perlu ada perhatian khusus bagi anak-anak yang benar-benar pemain bridge atau tidak.
“Pengurus bridge Minut jangan asal ambil pemain tanpa melihat kualitasnya,” kata Dondo.
Dondo mengakui walau sebagai pelatih bridge, ia tak meminta honor atau upah dari jerih payahnya melatih dan menurunkan ilmu bridgenya.
Bahkan menurutnya, tim bridge dari anak-anak sekolah yang dilatihnya, justru bisa mendapat rangking kelas. “Bridge adalah olah raga otak, bisa membantu tingkat pikir anak,” ujar Dondo.
Diceritakannya juga, saat menghadap Bupati Minahasa Utara, Drs Sompie Singal MBA, timnya hanya mendapat bantuan Rp 2 juta. “Itu dana dari pribadi pak bupati, katanya untuk uang makan disana,” kata Dondo
Perjuangan mereka lebih terasa dengan banyaknya bantuan yang ada saat mereka tiba di yogyakarta. “Untungnya ada kenalan disana, jadi kita ada dapat tumpangan nginap,” ujar Dondo.
Apakah nasib bridge Minahasa Utara selanjutnya akan seperti ini? Dondo pun mengharap di kejurnas berikutnya, tim bridge yang benar pemain, diperhatikan pihak pengurus bridge minut. (robintanauma)