Manado, BeritaManado.com – Dosen Kepemiluan FISIP Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Dr. Ferry Daud M. Liando, S.IP., M.Si. menjelaskan publik tidak bisa berharap banyak dari penyelenggara pilkada dalam hal ini KPU dan Bawaslu.
Menurut Ferry Liando, pilkada tahun ini berbeda dengan pesta demokrasi sebelumnya, karena digelar berbarengan dengan ancaman virus COVID-19.
“Mereka (KPU dan Bawaslu) juga manusia yang ingin selamat dari COVID-19. Akan banyak yang terlewati akibat keterbatasan ini,” beber Ferry Liando, kepada BeritaManado.com, Kamis (18/6/2020).
Ferry mengajak masyarakat mendukung kerja-kerja penyelenggara, termasuk peran partai politik.
Dikatakan Liando, pilkada akan selamat jika masing-masing parpol memiliki komitmen menjaga marwah gelaran lima tahunan ini.
“Jangan mengandalkan mahar ketika mengusung calon. Lebih bagus lagi jika ada kewajiban moral dari parpol, melarang calon yang membeli suara. Sebaliknya, jika parpol dan jagoannya melakukan politik uang, pilkada akan tidak bermoral,” tegas Liando.
Hambatan di Sektor Pengawasan
Pada pilkada sebelumnya terlihat kualitas tahapan diwarnai banyak persoalan.
Mulai dari mahar pencalonan, manipulasi dokumen syarat dukungan, keakuratan daftar pemilih, politik uang, mobilisasi dan intimidasi pemilih, kampanye amburadul, kesalahan dalam pencatatan, penghitungan dan rekapitulasi suara, penyogokan lembaga-lembaga peradilan dan perangkat hukum pilkada yang buruk.
“Yang ini saja belum ditemukan jalan keluarnya. Sekarang, masalah baru di depan mata, yakni pilkada dalam ancaman virus. Kualitas pilkada salah satunya menuntut instrumen pengawasan partisipatif masyarakat sebagai variabel utama. Dalam keadaan normal saja, fungsi pengawasan ini belum optimal dilakukan,” tegasnya.
Pengalaman di masa lalu, masyarakat yang datang melaporkan dugaan pelanggaran, sebagian besar bukan karena kesadaran memperbaiki kualitas pilkada, tetapi karena pendukung pasangan calon yang kalah.
Kedepan kata Ferry, keterlibatan publik di lapangan tidak lagi leluasa karena pembatasan aktivitas.
“Hal ini pasti menghambat masyarakat merekam segala bentuk kejahatan baik oleh kandidat atau tim sukses. Ini juga menyulitkan kerja-kerja Bawaslu,” bebernya.
Jika masyarakat mengetahui persis adanya dugaan pelanggaran, belum tentu bersedia dihadirkan oleh Bawalsu sebagai saksi dalam persidangan.
Terlebih jika menyangkut alasan kesehatan atau pembatasan aktivitas.
Akses Teknologi Belum Merata
Hal seperti ini juga akan menyulitkan bawaslu, jika kelak berinovasi memanfaatakan teknologi daring dalam klarifikasi ataupun investigasi mendalami sebuah dugaan.
Pasalnya, tidak semua masyarakat memiliki akses itu.
“Di daerah pedalaman masih banyak tidak memiliki akses internet, komputer ataupun listrik. Jumlah tenaga operator belum tentu tercukupi. Sebab kapasitas operator bukan hanya kemampuan IT tapi juga soal kejujuran dan etika,” ujar Liando.
Ia menambahkan, dinamika pilkada jauh lebih rumit ketimbang pemilu.
Sebab hubungan emosional antara masyarakat dengan calon sangat dekat.
Alhasil, jika ada dugaan perlakuan tidak adil terhadap calonnya, maka pendukung dengan cepat bergerak dan bereaksi.
Hal berisiko lainnya adalah mengawasi TPS di wilayah zona merah seperi rumah sakit dan kluster.
“Nah menjadi dilema, sebab tidak mungkin pengawas dituntut berkerja maksimal jika dalam kondisi mengancam. Atas dasar sumpah jabatan, mereka pasti akan bekerja sesuai perintah undang-undang. Namun mereka memiliki keluarga yang harus dilindungi,” tandasnya.
(Alfrits Semen)