Oleh: Masdar Paputungan (Pemerhati Bolangmongondow Timur)
Lanjutan…
Beritamanado – 3. Alasan-alasan Pemerintah Kabupaten Minahasa dalam upaya mengklaim Teluk Buyat. Alasan pertama adalah posisi aliran sungai Buyat, oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa dijadikan sebagai patokan batas alam antara Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kabupaten Minahasa. Secara akal sehat, hal ini tidak dapat dijadikan alasan karena posisi aliran sungai Buyat berada didataran rendah yang sewaktu-waktu cepat atau lambat dapat berubah.
Perubahan struktur permukaan tanah di daerah dataran rendah dapat merubah arah aliran sungai. Perubahan struktur/relief permukaan tanah yang dimaksud dapat disebabkan oleh tenaga indogen (tenaga yang berasal dari dalam bumi) seperti gempa bumi maupun tenaga eksogen (tenaga yang berasal dari permukaan bumi) seperti angin maupun aktifitas yang dilakukan oleh manusia.
Sebagai contoh, bahwa sungai Buyat dulunya sebelum gempa bumi tahun 1932 awalnya mengalir di kaki Gunung Dongit, Gunung Erfak, Gunung Mandili dan Gunung Potong serta bermuara di Teluk Totok.
Setelah peristiwa gempa bumi tersebut aliran sungai Buyat berpindah sebagaimana sekarang ini. Teluk Buyat dulunya adalah hamparan hutan bakau dan sebagian adalah perkebunan kelapa milik orang-orang Mongondow. Ketika peristiwa gempa bumi yang melanda belahan bumi Indonesia pada tahun 1932 yang menyebabkan patahan lempengan di laut Maluku, maka daratan bakau tersebut jatuh dan tenggelam dihantam gelombang pasang yang dasyat, dan ketika itu daratan tersebut berubah menjadi hamparan air laut yang sekarang dinamakan Teluk Buyat yang diapit oleh Tanjung Bobakan disebelah selatan dan Tanjung Buyat disebelah timur. (sumber sejarah Angila Mokoagow (116 thn) dan Saman Modeong (90 thn) pada tahun 2003).
Berdasarkan keterangan keduanya, pada tanggal 03 Juli 2003, tim identifikasi desa turun ke lapangan untuk meneliti kebenaran sejarah tersebut. Dari hasil identifikasi diperoleh bahwa tim menemukan daerah aliran sungai Buyat lama berada didekat lereng kaki Gunung Erfak, Mandili, Gunung Potong serta mengarah ke hutan bakau dan kuala mati di Teluk Totok dan tim menemukan batu-batuan dan kerikil pada bekas daerah aliran sungai Buyat lama disekitar hutan bakau sekarang.
Hingga sekarang kita dapat melihat bekas muara sungai Buyat lama yang berada di Teluk Totok (Pantai Lakban) yakni berupa muara mati atau biasa di sebut kuala mati. Pula, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah tidak pernah disebutkan bahwa aliran sungai dapat dijadikan sebagai acuan tapal batas. Yang dapat dijadikan acuan tapal batas antar dua daerah menurut Permendagri tersebut adalah titik koordinat yang ada di peta berdasarkan prinsip geodesi dan hydrografi.
Alasan kedua adalah administrasi pembayaran PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) oleh masyarakat Buyat yang memiliki tanah di seberang aliran sungai Buyat selama ini dibayarkan melalui Pemerintah desa Ratatotok. Pula hal ini tidak boleh dijadikan sebagai alasan Pemerintah Kabupaten Minahasa dalam menguasai dan mengklaim Teluk Buyat sebagai wilayahnya. Dalam Undang-Undang Perpajakan sudah jelas dikatakan bahwa SPPT PBB bukan merupakan bukti kepemilikan hak.
Bila perlu Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur melalui Bupati Sehan Salim Landjar dapat melakukan penuntutan pengembalian atas pembayaran PBB tersebut untuk disetor melalui Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Perlu diketahui bahwa atas dasar sejarah desa Buyat, wilayah dataran yang berada diantara aliran sungai Buyat sekarang dan bekas aliran sungai Buyat sepanjang kaki Gunung Mandili dan Gunung Potong sampai muara mati (kuala mati besar) dinamakan Buyat Dalam. Hal ini pula diperkuat dengan bukti yang ada sekarang ini bahwa batas Ounderneming kelapa yang ditanam pada masa Pemerintahan Hindia Belanda persis berbatasan dengan Gunung Erfak, Gunung Mandili dan Gunung Potong.
4. Keberpihakan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dalam menyikapi persoalan tapal batas Boltim dan Mitra. Otonomi daerah telah memberikan dampak yang positif pada suatu pemerintah daerah. Dengan adanya otonomi daerah ini, pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk melaksanakan pembangunan daerahnya serta pemanfaatan sumberdayanya terutama sumberdaya kelautan. Untuk itu pendefenisian batas laut yang jelas dan tepat sangat diperlukan. Dalam penentuan batas di laut melibatkan aspek teknis dan non teknis. Secara teknis, penentuan batas suatu wilayah terdiri atas dua kegiatan utama yaitu pendefinisian batas dan perekonstruksiannya di lapangan.
Sebelum memberikan definisi dan merekonstruksi batas-batas tersebut terlebih dahulu harus didefinisikan titik ataupun garis dalam penarikan batas wilayah dalam hal ini adalah batas wilayah laut. Khusus untuk batas wilayah laut antara Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Kabupaten Minahasa Tenggara hingga kini belum jelas. Meskipun sudah ada 4 titik koordinat ataupun garis sebagai acuan dalam penarikan batas wilayah laut namun hal itu belum dilakukan. Hal ini disebabkan oleh kelalaian dari pihak Pemprov untuk melakukan hal itu.
Sering kita membaca dalam Harian Nasional bahwa Menteri Dalam Negeri meminta pemerintah daerah agar menyelesaikan batas wilayahnya yang masih bermasalah. Permintaan Mendagri dalam hal penyelesaian batas wilayah ini dipandang penting untuk menghindari konflik perebutan wilayah yang masih kerap terjadi. Kerawanan tersebut terutama di daerah perbatasan yang memiliki sumber daya alam yang potensial. Memang pada saat ini masih banyak daerah yang tersebar di beberapa propinsi belum jelas batas wilayahnya, termasuk batas wilayah antara Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kabupaten Minahasa Tenggara yang sudah berada di ambang batas dan berpotensi konflik.
Penetapan batas wilayah antara kedua daerah ini amat penting untuk penertiban administrasi dan memperjelas lingkup tanggungjawab setiap daerah sehingga fungsi pelayanan masyarakat bisa berjalan dengan baik, selain itu pula untuk mempermudah pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat. Kita semua menyadari bahwa dalam melaksanakan proses penetapan batas wilayah memang tidak mudah. Kendati ada pedoman dan tata cara penetapannya, namun dalam pelaksanaannya dilapangan mengalami banyak tantangan.
Umumnya yang berpotensi konflik adalah penetapan atas wilayah antar kabupaten. Potensi konflik dalam penetapan tata batas muncul ketika di titik perbatasan itu ada sumber daya alamnya. Sumber daya alam yang dimaksudkan di sini adalah obyek wisata pantai LAKBAN, taman laut yang indah di Teluk Buyat dan aliran sungai Buyat yang kaya dengan galian C. Ketiga sumber daya alam inilah yang memicu konflik dalam penetapan tapal batas antara kedua daerah. Oleh karena itu, peran aktif dari kedua Pemerintah Kabupaten dalam menyelesaikan tapal batas ini sangat diperlukan.
Selain itu Gubernur Sulawesi Utara Sinyo.H. Sarundayang yang berfungsi sebagai fasilitator harus memfasilitasi dalam penyelesaian tapal batas antara kedua kabupaten bersangkutan. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut Gubernur harus bersikap netral dengan tidak memihak kepada salahsatu daerah yang bersengketa. Disini integritas dari Gubernur Sulawesi Utara S.H. Sarundayang sangat diperlukan. Dalam mencermati sikap dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dalam hal ini Gubernur S.H.Sarundayang, saya berpendapat bahwa sang Gubernur terkesan ”bermain mata” dengan Bupati Minahasa Tenggara Telly Tjangkulung dan sangat lamban didalam menyelesaikan persoalan ini. Bukti konkrit atas sikap Gubernur tersebut dapat dilihat dari 3 hal, yakni:
1. Penelusuran lanjutan atas titik koordinat tapal batas yang dilaksanakan sejak tanggal 13 Desember 2004 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Utara Nomor 90 Tahun 2004 yang dikeluarkan oleh Gubernur A.J. Sondakh hingga akhir hayatnya sampai saat ini belum dilaksanakan oleh Tim Provinsi dan terkesan hanya didiamkan oleh rivalnya Gubernur S.H. Sarundayang. Pertanyaannya adalah “Mengapa penelusuran titik koordinat dihentikan oleh tim dan hingga sekarang belum dilanjutkan? Jawabannya adalah : Jika hal ini dilanjutkan sudah pasti bahwa sebagian wilayah desa Ratatotok Timur termasuk kedudukan Kantor Camat Ratatotok seratus persen masuk wilayah Boltim.
2. Kendati sudah dinyatakan bahwa teluk Buyat dan pantai Lakban adalah wilayah yang ber- status quo, namun Gubernur S.H. Sarundayang terkesan hanya membiarkan pihak Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara untuk membangun infrastruktur di wilayah Pantai Buyat Kec. Kotabunan Kab. Bolaang Mongondow Timur. Pembangunan infrastruktur tersebut dimaksudkan untuk memperkuat posisi Pemkab Minahasa Tenggara dalam hal penguasaan wilayah Pantai Buyat.
3. Adanya respon yang positif dari Gubernur S.H. Sarundayang dalam merestui rencana Pem- kab Minahasa Tenggara untuk menyelenggarakan SAIL LAKBAN pada tahun 2012. Dengan melihat sikap Gubernur tersebut diatas, maka tentunya integritas dari sang Gubernur dalam menyikapi persoalan tapal batas antara Boltim dan Mitra patut dipertanyakan. Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa sebetulnya Gubernur Sulawesi Utara melalui Bupati Minahasa Tenggara takut kehilangan Pantai Lakban sebagai aset obyek wisata yang cukup menjanjikan dalam menopang Pendapatan Asli Daerah sehingga menghalalkan segala cara untuk menguasai Teluk Buyat dan Pantai Lakban.
Ingatlah, bahwa dengan adanya Undang-Undang Pemekaran dan Otonomisasi Daerah cepat atau lambat Bolaang Mongondow Raya pasti akan berpisah dengan Propinsi Sulawesi Utara yakni dengan membentuk Propinsi Bolaang Mongondow Raya yang saat ini tengah dikumandangkan.(*/gn)