Bitung—Kendati Pemkot Bitung tidak mengakui adanya tanah ulayat dan masyarakat adat Manembo-nembo, Sagerat dan Tanjung Merah (Masata), namun secara historis masyarakat tersebut ada. Apalagi soal klaim atas lahan seluas 92,6 hektar eks erpfacht di Tanjung Merah sesuai sejarah memang milik masyarakat Masata secara turun temurun dari tahun 1859.
Hal ini dikatakan salah satu perwakilan masyarakat Masata, John Wantah beberapa waktu lalu. “Awal mulanya tanah tersebut dibuka atau dirombak oleh masyarakat Tanjung Merah, Manembo-nembo dan Sagerat sekitar tahun 1859 yang dikelola secara turun temurun,” kata Wantah.
Kemudian pada tahun 1873 menurut Wantah, tanah tersebut diambil alih atau dirampas pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan mengacu pada Domein Verklaring karena warga tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan secara admistrasi atau eigendom. Akibatnya tanah tersebut dijadikan sebagai tanah negara kendati tanah tersebut tanah ulayat milik warga.
“Pada tahun itu, masyarakat masih hidup dengan cara tradisional, sehingga tidak dapat membuktikan kepemilikan yang sah. Ditambah lagi pada waktu itu masyarakat belum mengerti soal pengurusan surat-surat tanah seperti yang dimaksudkan pemerintah Kolonial Hindia Belanda,” jelas Wantah.
Setelah berakhir penjajahan Belanda, sekitar tahun 1941 sampai 1945, yakni dimasa Jepang masuk menjajah Indonesia, tanah tersebut diserahkan pasukan Nipon kepada Sonco atau hukum tua Tanjung Merah, Manembo-nembo. Dan pengelolaannya dipegang hukum tua Tanjung Merah dari tahun 1945 sampai 1960 seiring berlakunya UU Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960.
“Dan di tahun tersebut masyarakat Masata kembali menggarap tanah tersebut. Otomatis di era Orde Lama, banyak warga Masata yang menjadi petani penggarap mendapat tekanan dari pemerintah,” katanya.
Warga sendiri diintimidasi jika terus melakukan penggarapan lahan tersebut dengan dituding sebagai anggota Partai Komonis Indonesia (PKI). Namun itu tidak menyurutkan niat warga untuk melakukan penggarapan lahan tersebut hingga tahun 1970.
“Di tahun 1970 ketika terjadi pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, kembali terjadi perampasan lahan. Akibatnya masyarakat Masata menyerahkan pengelolaan lahan tersebut ke Perusahaan PT Ranomuut sebagai pemegang HGU,” ujarnya.
Semenjak saat itu, warga Masata mejalani kehidupan yang pahit karena harus menjadi petani upahan diatas tanah sendiri. Dan ini dilakoni warga karena terpaksa bekerja sebagai petani upahan PT Ranomuut.
Kemudian tahun 1983 hingga 2008, terjadi peralihan pemegang HGU dari PT Ranomuut ke PT ASSA. Dan menjelang masa berakhirnya HGU PT ASSA, masyarakat Masata kembali menduduki lahan tersebut dengan tujuan bakal digarap untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
“Kami harap sejarah ini tidak dilupakan Pemkot Bitung, karena jelas sudah sekian tahun masyarakat Masata menderita karena tidak bisa memiliki tanah yang telah digarap secara turun temurun,” katanya.(en)