Manado – Mungkin sudah saatnya pemilu menghilangkan satu asas: RAHASIA. Mengapa untuk menentukan pilihan kita harus sembunyi-sembunyi? Di era transpartansi seperti saat ini, kita tidak lagi hidup di bawah rezim yg otoriter. Bukankah kebebasan menentukan pilihan adalah Hak Asasi Manusia?
Demikian pendapat Stefan Obadja Voges SH. Menurut staf pengajar Fakultas Hukum Unsrat Manado ini, kalau ada 10 partai, maka disetiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) disediakan 10 kotak mewakili masing-masing partai. Sehingga saat penghitungan lebih memudahkan. Atau kalau ada 3 pasang calon maka disediakan 3 kotak suara,” katanya.
Dikatakan SOV, panggilan akrabnya, kalau asas rahasia ini masih ada, maka sebenarnya kita adalah negara yang munafik, karena ternyata salah satu kebebasan memilih tidak benar-benar dijamin dinegara ini.
Ini asas rahasia yang bikin money politik dan pragmatisme merajalela. Saat kampanye, kita sudah terbuka dengan memasang bendera-bendera dan hadir dalam kampanye-kampanye, kenapa saat pencoblosan harus RAHASIA?
“Coba lihat, begitu banyak pemilu yang berakhir dengan sengketa karena dugaan kecurangan yang terjadi dalam proses penghitungan ditahapan-tahapan pemilu,” ujar Voges.
Meski sistem pemilu telah dirancang sedemikian rupa agar demokrasi dapat ditegakkan dengan meminimize kecurangan, toh ternyata praktek-praktek penggelembungan suara masih saja terjadi.
Hal ini mengakibatkan munculnya krisis kepercayaan masyarakat maupun peserta pemilu thdp kredibilitas pelaksana maupun sistem itu sendiri.
Imbasnya, banyak hasil-hasil pemilu akhirnya digugat oleh peserta akibat ketidakpercayaan terhadap hasil penghitungan tersebut. Dalam beberapa kasus malah efeknya berupa tindakan-tindakan anarkis masyarakat terjadi dibeberapa tempat.
“Jadi menurut kita, hal ini terjadi karena lemahnya pola penghitungan suara dari tingkat TPS yang rawan manipulasi,” kuncinya.(*)