Manado, BeritaManado.com – Pemilu dan Pilkada (Pemilukada) berintegritas sangat ditentukan oleh penyelenggara Pemilu yang berintegritas. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) berintegritas tentu tak sebatas kegiatan sosialisasi dan pelaksanaan tahapan Pemilu yang sesuai PKPU dan Undang-Undang 7 Tahun 2017 tetapi juga bagaimana penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) membangun sistem pelaksanaan dan pengawasan Pemilu yang menopang agar penyelenggaraan Pilkada menghasilkan kepala daerah dengan integritas tinggi.
Manurut Direktur Lembaga Independen Electoral Menagement End Constitution (E-MC) Sulawesi Utara, Johnny Alexander Suak SE, MSi, integritas penyelenggaraan Pemilu dibagi dalam tiga bagian, yakni integritas proses, tahapan dan hasil, yang seluruhnya bergantung pada integritas penyelenggara, baik KPU maupun Bawaslu.
“Sehingga diharapkan penyelengara Pemilu memiliki integritas personal yang baik sehingga bisa menghasilkan Pemilu yang memiliki legitimasi politik, hukum dan moral. Penyelenggara Pemilu sebaik tidak merasa puas dulu dengan tahapan yang sudah berlangsung, sebab Pilkada melibatkan banyak pihak yang berkepentingan yang berpotensi melahirkan pelanggaran. Penyelenggara Pemilu harus terus meningkatkan kemampuan agar dapat mengurangi potensi pelanggaran,” jelas Johnny Suak.
Pertama, bagaimana memastikan penyelenggaraan Pilkada berjalan sesuai tahapan yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang, dengan kata lain, secara prosedural seluruh tahapan Pilkada dilalui dan dipatuhi, baik oleh penyelenggara, peserta Pemilu, maupun pemangku kepentingan lain.
Kedua, membangun integritas pemilih. Inilah tahapan paling krusial dalam penyelenggaraan Pilkada. Harus diakui, penyelenggaraan Pemilu tidak memberikan porsi yang cukup bagi publik, khususnya pemilih, untuk memberikan pilihan politiknya berdasarkan nilai-nilai integritas.
Penyelenggara dan peserta Pemilu lebih sibuk mempersiapkan hal-hal yang berbau teknis tentang bagaimana penyelenggaraan Pilkada dapat berjalan dengan baik tetapi mengabaikan edukasi Pemilu bagi para pemilih untuk memberikan pilihannya kepada calon yang memiliki integritas baik.
Yang terjadi selama ini adalah pendangkalan pemahaman tentang edukasi politik yang berintegritas bagi pemilih. Penyelenggara hanya sibuk menyosialisasikan dan mengawal tiap tahapan Pilkada, belum lagi adanya kecurigaan terhadap keberpihakan oknum penyelenggara dan tidak netral netral, disisi lain peserta Pemilu (calon kepala daerah) sibuk mengumbar janji-janji politik yang dikemas manis dalam balutan visi misi untuk menarik perhatian masyarakat dalam meraup suara terbanyak. Bagi sebagian besar pemilih, apa yang sudah dilakukan ini sangatlah tidak cukup dan tidak memadai untuk bisa memandu dan menentukan pilihan politiknya secara baik.
“Kebiasaan kita dengan mengatakan ‘biarkan pemilih yang menghukum partai yang menampilkan paslon yang terindikasi curang’ lebih terlihat sebagai ungkapan emosional, tetapi tidak meyakinkan. Sebab, pada kenyataannya integritas pasangan calon tidaklah menjadi acuan utama pemilih dalam menentukan pilihan politiknya.
Alasannya cukup sederhana. Selama ini, kampanye mengenai nilai-nilai integritas, termasuk soal politik uang, netralitas ASN, politisasi birokrasi dan pelanggaran tindak pidana Pemilu lainnya jauh dari bahasa yang dapat dipahami masyarakat pada umumnya.
Bagi sebagian masyarakat pemilih, persoalan ini sudah membudaya dan dianggap biasa dan kalau jadi pelanggaran atau temuan hanya dipandang sebagai urusan Bawaslu bersama dengan penegak hukum dan penyelenggara negara. Adapun urusan soal pelanggaran Pemilu yang berkaitan dengan kampanye hitam.
“Tindakan curang dan pelanggaran pidana lainnya menjadi urusan penyelenggara Pemilu dan dianggap tidak ada hubungannya dengan keseharian masyarakat. Sehingga laporan pelanggaran Pemilu sangat minim dan cenderung membentuk sikap skeptis masyarakat untuk mau tidaknya melaporkan pelanggaran tersebut kepada Bawaslu,” tandas Johnny Suak.
Ketiga, integritas setelah penyelenggaraan Pilkada. Tahapan ini menjadi sangat penting bagaimana mengawal dan mengawasi proses penyelenggaraan pemerintahan setelah penyelenggaraan pilkada. Pilkada akan dianggap gagal jika tidak menghasilkan kepala daerah yang berhasil menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Tahap ini akan jauh lebih mudah untuk dilakukan jika tahapan kedua telah terkonsolidasi secara baik, di mana seluruh pemilih akan mengawal dan mengawasi kepala daerah terpilih hingga berakhir masa jabatannya.
“Pemilih tidak lagi terpecah menjadi kelompok yang memilih dan tidak memilih calon tertentu, tetapi menjadi gerakan pemilih kritis yang terkonsolidasi. Pemilih tidak lagi terfragmentasi sebagai ”haters” dan ‘lovers’ yang justru mencerminkan rendahnya integritas pemilih,” tukas Johnny Suak.
(***/JerryPalohoon)