Oleh: Herman Nayoan SH MH (dosen Fisip Unsrat)
Manado – Kampus merupakan teladan dan panutan bagi seluruh rakyat yang ada. Begitu halnya dengan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado. Apa yang kemudian dipraktekan oleh masyarakat kampus senantiasa menjadi cerminan bagi masyarakat disaat melaksanakannya dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap akademis, intelektual, moral, etika seharusnya menjadi sebuah warna dalam institusi perguruan tinggi.
Sayang seribu sayang, hal-hal tersebut saat ini tidak lagi mencadi sebuah cerminan atau pola kehidupan di dalam Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) dibawa kepemimpinan Prof. Donald Rumokoy sebagai Rektor. Mengapa hal ini bisa terjadi di Unsrat saat ini, karena sikap manopoli kekuasaan telah dijadikan sebuah trand kepemimpinan. Dimana mengedepankan sikap arogansi dalam mewujudkan kekuasaan yang digenggamnya.
Mekanisme pemilihan Rektor periode 2012-2016 yang sementara berlangsung saat ini cukup jauh dari kaidah, etika, norma serta prinsip-prinsip demokrasi. Semua tahapan pemilihan Rektor telah disetting menggunakan sebuah sistem yang prematur, dan sesunggunya hal tersebut merupakan pelecehan terhadap dunia intelektual atau dunia kampus yang seharusnya kampus menjadi contoh dalam mempraktikan prinsip-prinsip demokrasi. Apalah jadinya kalau dunia kampus, dunia intelektualitas telah dirasuki oleh konsep-konsep yang tidak mengedepankan rasionalitas serta objektivitas. Malahan lebih pada bagaimana menggunakan metode demokrasi semu.
Statuta yang telah menjadi produk permendikbud yang digolkan demi mengakomodir kepentingan penguasa saat ini, toh akhirnya tidak dipakai juga sebagai sebuah landasan atau dasar dalam menjalankan kehidupan kampus. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa kasus yang ada, semisal dalam pasal 103 Permendikbud nomor 61 menegaskan bahwa ‘dengan berlakunya peraturan Menteri ini (statuta baru-red) stauta Unsrat yang lama tidak berlaku lagi’. Dengan demikian maka seharusnya Senat Universitas Sam Ratulangi yang lama sudah tidak ada lagi alias expire.
Salah satu point yang membedakan antara stauta baru dan lama adalah kedudukan ketua Senat. Statuta yang lama mengungkapkan bahwa ketua Senat adalah Rektor, sementara statuta yang baru ketua Senat bukanlah Rektor. Tetapi didalam praktiknya Rektor masih mengeluarkan beberapa surat keputusan Senat Universitas, sementara Senat yang baru tidak ada. Kemudian apa kewenangan Rektor di Senat sesuai dengan Permendiknas? Maka sesungunya Rektor saat ini sudah tidak konsisten lagi dengan Permendikbud yang menjadi roh penyelenggaraan tahapan pemilihan Rektor.
Berdasarkan pada tinjauan tersebut maka saya menilai bahwa proses pemilihan Rektor saat ini sangat jauh dari harapan. Bahkan tidak menunjukan keeleganitas dari sebuah institusi pendidikan. Malahan kebobrokan dan ketidakteraturan serta menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi yang dipertontonkan kepada publik. Permendikbud nomor 61 Tahun 2011 yang semestinya menjadi landasan serta dasar tidak lagi dijadikan sebagai pijakan di Universitas kebanggaan kita. Malahan dengan Perilaku yang seperti ini menunjukan bahwa produk dari pada Permendikbud tersebut hanya untuk mengawal kepentingan penguasa atau incumbent saat ini.
Dengan situasi yang amburadul serta telah menyimpang dari perilaku intelektualitas saat ini, sesungguhnya mencerminkan tindakan Rektor sudah mengarah kepada mal administrasi. Bahkan telah melakukan pelecehan terhadap prinsip-prinsip intelektualitas. Hal ini tentunya tidak diinginkan oleh seluruh civitas Unsrat yang ada. Maka dari itu kami berharap pimpinan kami setingat lebih diatas dari Rektor, yakni Pak Dirjen Dikti, Irjen Dikti, atau Pak Mendikbud akan menindak serta mengembalikan jalan bagi Unsrat yang saat ini menuju kehancuran.(*)