Langowan, BeritaManado.com — Warga Langowan yang terjun berkarya dalam dunia pers atau jurnalistik di Sulawesi Utara boleh dibilang yang terbanyak.
Pasalnya, dilihat dari sudut pandang sejarah, sangat banyak oang Langowan yang berkecimpung di dunia pemberitaan di berbagai media massa.
Pada acara temu kangen secara terbatas di kebun milik Donny Rumagit di Desa Walewangko, Sabtu (30/1/2021) kemarin, terungkap cerita-cerita seputar dunia wartawan, mulai dari para sesepuh hingga wartawan zaman sekarang di era millennial.
Jeffry Pay yang turut serta dalam pertemuan tersebut menyebutkan bahwa ada sejumlah hal yang dibahas, antara lain yaitu pemberdayaan sumer daya manusia (SDM) orang Langowan serta pemanfaatan sumber daya alam (SDA) Langowan.
“Dalam hal ini, saya memiliki sedikit cerita untuk dibagiman kepada masyarakat, khususnya kepada teman-teman wartawan yang saat ini masih aktif di lapangan memburu berita dan narasumber. Keterlibatan Tou Langowan dalam dunia kewartawanan dimulai tahun 1951,” kata Jeffry Pay.
Ditambahkannya, pada tahun tersebut terbit Surat Kabar Pikiran Rakyat yang dipimpin oleh Wolter Saerang.
Surat Kabar tersebut menurut Jeffry Pay tidak hanya beredar du Sulut, namun juga di Indonesia Timur, bahkan oplahnya bisa mencapai 20.000 eksemplar, sekaligus menjadi jumlah terbesar pada sekitar tahun 1950-an.
“Surat Kabar ini hanya bertahan hingga pada tahun 1960-an. Wolte Saerang yang adalah Tou Langowan juga menjadi pejuang yang cukup dihargai oleh Presiden Soekarno.
Selanjutnya, di akhir tahun 1960-an banyak terbit surat kabar di Sulut, baik koran lokal maupun koran nasional Edisi Sulut.
Di tahun 1966 juga muncullah nama wartawan asal Langowan, Bidden Kandores yang awalnya ia menjadi karyawan tata usaha media Sinar Harapan edisi Sulut, sekaligus menjadi wartawannya.
“Setelah Bidden Kandores, kakak beradiknya juga ikut jadi wartawan, yaitu John Kandores dan Nico Kandores. Bidden Kandores bahkan kemudian menjadi Ketua PWI dua periode, dari tahun 1990-1998. Selanjutnya tahun 1980-an muncul pula nama wartawati asal Langowan, yaitu Nontje Tumiwa. Ia bekerja sebagai reporter di RRI Manado dan juga merangkap sebagai pembaca berita di TVRI Manado.
Tahun 1985, saya tertarik masuk dunia wartawan, setelah lulus dari SMA Negeri Langowan. Awalnya, saya masih ingin kuliah, tapi karena orangtua yang sudah status janda, tak bisa mengongkosi biaya kuliah, dan akhirnya saya lebih memilih terjun ke dunia jurnalistik,” ungkap Jeffry Pay.
Ia sendiri disponsori oleh wartawan senior yaitu Boy Warouw (Pimpinan Surat Kabar Buletin Sulut) saat mengikuti Pendidikan Peningkatan Keterampilan Juanalistik di Universitas Sam Ratulangi Manado tahun 1985.
Pendidikan tersebut merpakan bagian dari program Departemen Penerangan RI di zaman itu dan kemudian setelah lulus, Jeffry Pay sendiri mengaku langsung beekrja sebagai wartawan di Mingguan Warta Urara yang dipimpin oleh Lanny Politton sejak tanggal 4 Januari 1986.
“Saya juga mengajak teman sekampung asal Langowan lainnya, yaitu Hanny Potabuga untuk jadi wartawan di Warta Utara. Media Warta Utara ini kemudian berubah menjadi harian Cahaya Siang. Di era tahun 2000-an mulai bermunculan wartawan-wartawan muda asal Langowan. Mereka antara lain, Hanny Soriton, Frani Tuju dan Harny Korompis,” tutur Jeffry Pay.
Di RRI ada juga Audy Kandores, anak dari Nontje Tumiwa. Selanjutnya bertambah lagi wartawan asal Langowan lainnya, yaitu Donni Rumagit, Jackly Massie, Jackly Makarawung, David Mandey, Aldy Rorong, Inno Toar, Fernando Kembuan, Jacksen Kewas, Alwin Raranta, Herry Soriton, Recky Korompis, Diane Massie, Kenly Sumolang, Reymon Sumual, Riedel Memah, Franki Wullur, Ronal Rompas dan mungkin masih banyak lagi yang belum sempat diketahui.
“Di tengah ketatnya persaingan dunia pers dan juga perkembangan teknologi yang cepat, sedikit banyak mempengaruhi dunia kerja profesi wartawan. Apalagi di tengah pandemi COVID-19 yang masih berlangsung. Kita semua berharap profesi wartawan masih memberi ruang hidup bagi mereka yang mencari hidup di dalamnya,” harapnya.
(Frangki Wullur)