Manado – Hari ini 7 Agustus merupakan Hari Ulang Tahun (HUT) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Bagaimana sejarah terbentuknya organisasi profesi jurnalis ini? Ikuti kisahnya sebagaimana dikutip dari wikipedia.org.
Aliansi Jurnalis Independen atau AJI adalah organisasi profesi jurnalis, yang didirikan oleh para wartawan muda Indonesia pada 7 Agustus 1994 di Bogor, Jawa Barat, melalui penandatangan suatu deklarasi yang disebut “Deklarasi Sirnagalih”.
Organisasi ini didirikan sejak pembredelan tiga media –DeTik, Tempo, Editor pada 21 Juni 1994 dan didirikan sebagai upaya untuk membuat organisasi jurnalis alternatif di luar PWI karena saat itu PWI dianggap menjadi alat kepentingan pemerintah Soeharto dan tidak betul-betul memperjuangkan kepentingan jurnalis.
Sejarah Sebelum pembredelan
Sekitar tahun 1991, jauh sebelum pembredelan tiga media, terjadi pertemuan informal belasan jurnalis di Taman Ismail Marzuki (TIM), Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan tersebut, dibicarakan berbagai hal yang menyangkut kondisi pers Indonesia. Dalam pertemuan itulah, tercetus ide tentang perlunya membentuk organisasi jurnalis alternatif yang independen di luar PWI. Ada juga keinginan untuk membikin media sendiri. Sayangnya, pembicaraan itu tidak berlanjut menjadi aksi konkret.
Di berbagai kota, sebelum berdirinya Aliansi Jurnalis Independen [AJI], sudah ada komunitas dan kelompok-kelompok diskusi jurnalis. Seperti, SPC atau Surabaya Press Club (Surabaya), FOWI atau Forum Wartawan Independen (Bandung), Forum Diskusi Wartawan Yogya atau FDWY (Yogyakarta), dan SJI (Solidaritas Jurnalis Independen) di Jakarta sendiri. Kemudian para aktivis jurnalis dari sejumlah komunitas inilah yang kemudian ikut bergabung membentuk AJI, lewat Deklarasi Sirnagalih. Untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas inilah, maka pada diskusi di Sirnagalih waktu itu dipilih nama “aliansi” untuk AJI, dan bukan “persatuan” seperti PWI.
Pembredelan 21 Juni 1994 membantu menciptakan momentum, yang dibutuhkan bagi lahirnya sebuah organisasi jurnalis alternatif. Pembredelan 21 Juni 1994 merupakan shock theraphy, yang menjelma bendera penggalangan solidaritas para jurnalis muda untuk mewujudkan mimpi yang sudah lama terpendam untuk membentuk wadah jurnalis yang independen. Namun, benih-benih lahirnya AJI sebenarnya sudah tertanam jauh hari sebelum pembreidelan tersebut.
Logo AJI Setelah pembredelan
Setelah pembredelan DeTik, Tempo dan Editor, para jurnalis muda yang didukung elemen mahasiswa, LSM dan seniman mengadakan aksi menolak pembreidelan. Karena pertimbangan prosedural, para jurnalis muda menemui pimpinan PWI Pusat yang diketuai Sofjan Lubis dengan Sekjen Parni Hadi. Mereka meminta PWI Pusat memperjuangkan nasib para karyawan dan wartawan korban pembreidelan. Pada pertemuan pertama di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat itu, para jurnalis muda meminta, agar AJI berusaha bertemu langsung dengan Menteri Penerangan Harmoko. PWI menyanggupi.
Sebulan kemudian, para jurnalis termasuk dari tiga media yang dibredel kembali menemui PWI Pusat untuk menagih janji. Ternyata PWI gagal bertemu Harmoko dan gagal memperjuangkan nasib wartawan dan karyawan pers.
Para jurnalis muda lalu menyatakan ketidakpercayaannya lagi pada PWI. PWI dianggap sudah tak efektif lagi memperjuangkan nasib wartawan dan sudah terlalu dikooptasi oleh penguasa. (wikipedia.org/aha)