BeritaManado – Warga Manado dan kota-kota besar lainnya mungkin harus banyak belajar dari sebuah pulau terpencil di daerah perbatasan RI – Filipina tentang makna ‘sadar bahaya Tsunami’.
Tak kurang Komandan Korem 131/Santiago Kolonel Inf A.A.B. Maliogha yang sedang mengecek kesiapsiagaan Satgas Pengamanan Perbatasan RI – Filipina di Posko Taktis Pulau Tinakareng dan kemudian menyempatkan diri melihat-lihat pulau-pulau di sekitar perairan Tinakareng pun sempat terperanjat menyaksikan berbagai rambu-rambu penunjuk arah evakuasi di sepanjang jalan kampung Bukide di Pulau Bukide yang mengarah ke perbukitan.
Isu Tsunami mungkin bukan isu yang layak dibicarakan akhir-akhir ini karena kalah populer dengan isu BBM, pilkada, dan korupsi yang mengisi berbagai media massa setiap hari. Namun kesadaran terhadap pengetahuan mitigasi bencana alam seperti Tsunami harus selalu ditanamkan di benak warga. Pengalaman sudah sering mengajarkan betapa dahsyatnya kehancuran yang disebabkan oleh Tsunami: Aceh, Jawa Barat, Nias, dan yang paling mutakhir adalah Tsunami Jepang tahun lalu.
Negara maju seperti Jepang yang dilengkapi dengan berbagai peralatan canggih pendeteksi dini bahaya Tsunami dan masyarakatnya sudah sadar bahaya Tsunami pun masih kedodoran menghadapi Tsunami tahun lalu, dan dampaknya pun masih terasa hingga saat ini, khususnya terkait bahaya radiasi nuklir yang bocor dari Reaktor Nuklir Fukushima di Sendai. Sulawesi Utara, juga Indonesia pada umumnya, memang tidak memiliki reaktor nuklir, namun peralatan deteksi dini Tsunami yang sangat kurang dan pengetahuan tentang mitigasi bencana alam yang juga relatif sangat minim juga dapat menyebabkan kehancuran yang tak kalah hebatnya dengan Tsunami Jepang.
Besarnya korban jiwa yang dipercaya mencapai ratusan ribu pada Tsunami Aceh tahun 2004 yang meluluhlantakkan daratan Nanggroe Aceh Darussalam (bandingkan dengan Tsunami Jepang yang ‘hanya’ menelan belasan ribu jiwa padahal gempa pemicunya lebih besar: Aceh 8,5 Skala Richter; Jepang 8,9 SR) menurut para ahli mitigasi kegempaan dan tsunami karena masyarakat Indonesia cenderung lebih abai terhadap bahaya tsunami. Kearifan lokal di salah satu daerah terparah di Aceh, Simeuleu, bahwa jika ada gempa hendaknya segera naik bukit, dilaporkan sudah tidak digubris oleh masyarakat setempat sebelum peristiwa Tsunami 2004 menerjang.
Tsunami Aceh dan Jepang hendaknya menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua, warga Kota Manado dan seluruh masyarakat pesisir pantai di Sulawesi Utara serta penduduk di berbagai pulau-pulau yang tersebar di Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sangihe, dan Talaud agar mengetahui apa yang harus dikerjakan jika ada gempa bumi berkekuatan lebih dari 6 Skala Richter.
Jika para pembaca mengamati jalan-jalan penghubung Boulevard – Sam Ratulangi yang dulunya pernah dipenuhi rambu-rambu arah evakuasi bahaya tsunami, maka anda akan kecewa mendapati bahwa rambu-rambu tersebut sudah tidak ada lagi. Begitu pula jika anda masuk ke salah satu kantor kelurahan yang berada di sekitar Boulevard, bagan informasi Prosedur Penanggulangan Bahaya Tsunami sudah tidak terpampang lagi di dinding kantor maupun di papan informasi. Tanpa pengetahuan tentang mitigasi bencana alam Tsunami yang memadai, akankah kita sanggup menghadapi bahaya Tsunami? (Penrem 131/Santiago)