PILAR DEMOKRASI
Kerjasama beritamanado dengan KBR 68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
25 November hingga 10 Desember setiap tahun diperingati sebagai 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional Perempuan memperkirakan ada 35 kekerasan terjadi pada perempuan setiap hari. Sementara itu, ada sejumlah Undang-undang dan ratusan peraturan di daerah masih mendiskriminasi perempuan. Di antaranya adalah UU Perkawinan dan perda larangan membonceng mengangkang bagi perempuan di Lhouksmawe, Aceh. Untuk itu, Rancangan Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender harus disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk melindungi perempuan dari kekerasan dan menjamin adanya hak dan peluang sama dalam hal gender.
Dian Kartikasari, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia menuturkan, diskriminasi perempuan di Indonesia memiliki akar pada tata pembangunan. Menurutnya, pembangunan di Indonesia tidak setara dalam melibatkan pria dan perempuan. Akibatnya adalah diskriminasi ekonomi pada perempuan yang bahkan mendorong mereka merantau untuk menjadi TKW di negeri lain. “Kontrol dalam pengambilan keputusan dan manfaat yang dirasakan dari hasil pembangunan dinikmati secara adil dari laki-laki dan perempuan, mungkin tidak banyak perempuan yang pergi ke negeri orang mencari nafkah,” ujar Dian Kartikasari.
Diskriminasi terhadap perempuan semestinya tidak terjadi karena Undang-undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan laki-laki dan perempuan. Niniek Rahayu Anggota Komnas Perempuan menyayangkan penerepan UUD itu sering malahan diskriminatif terhadap perempuan. “Penegakan hukumya tidak cukup padu, bahkan diskriminsi muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari tindakan, perilaku aparatur negara sampai pada kebijakan yang justru terus diproduksi oleh negara melalui pemerintah, dalam hal ini eksekutif dan legislatif,” papar Niniek Rahayu. Ia menambahkan, diskriminasi ini bertambah parah dalam era otonomi daerah melalui perda-perda daerah.
Piranti hukum untuk kesetaraan dan keadilan gender dinilai kurang efekti. Dian Kartikasari dari Koalisi Perempuan Indonesia menilai Inpres 9/2000 soal pengarusutaman gender dalam pembangunan tak cukup. Sebab, peraturan diskriminatif juga muncul dari pihak parlemen, bukan saja eksekutif. Untuk itu, ia menyarankan Rancangan Undang-undang tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender untuk segera disahkan oleh DPR. Sebab, RUU ini akan mengikat semua pihak untuk mendorong keadilan dan kesetaraan gender, tidak hanya eksekutif. Selain itu, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender bisa paksa daerah untuk tidak diskriminatif pada perempuan jka disahkan
Meskpun berniat menyetarakan kesempatan dan hak pria dan perempuan, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender banyak mendapat protes karena dinilai akan merubah budaya. Menanggapinya, Dian menegaskan budaya tidak semuanya baik. Artinya, kebudayaan yang mendiskriminasikan perempuan perlu dirubah. Budaya tidak adil contohnya, pengadilan adat banyak paksa korban perkosaan kawin dengan pemerkosa. Selain itu, laki-laki dapat warisan dan perempuan tidak Ia menegaskan, “budaya merupakan produk perubahan dan bisa berubah”.
RUU KKG juga banyak diprotes karena dituding menyamakan peran laki-laki dan perempuan. Namun, Dian menekankan, “RUU Kesetaraan Gender tidak samakan perempuan dan laki2 karena keduanya memang beda.” Namun, RUU ini menjamin hak dan peluang yang sama bagi perempuan dan laki-laki.
RUU KKG jika disahkan juga diharapkan dapat menjadi landasan melakukan perubahan sejumlah Undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan. Anggota Komnas Perempuan Niniek Rahayu menekankan, “parlemen juga perlu aktif menyingkirkan diskriminasi. Contohnya, merubah UU Perkawinan yang diskriminatif pada perempuan.” Pasalnya, RUU Kesetaraan ada pasal yang melarang perkawinan mendiskriminasi perempuan. Singkatnya, RUU KKG bisa menjadi dasar harmonisasi berbagai Undang-undang yang diskriminatif pada perempuan. Dorongan itu diperkuat karena RUU Kesetaraan Gender akan menjatuhkan sanksi bagi individu dan instansi yang menghalang-halangi kebijakan yang pro perempuan. Sanksi administratif dapat berupa pemotongan anggaran suatu instansi dan sanksi individu bisa berupa pidana.
RUU ini jika dapat disahkan dan berjalan dinilai akan menguntungkan juga bagi kaum adam. Aktivis perempuan Dian mengatakan, laki-laki bisa mewariskan harta pada anak perempuan dan yakin anak perempuan tidak jadi korban kekerasan jika RUU ini sah. Anggota Komnas Perempuan Niniek menambahkan, akan muncul generasi laki-laki baru yang sadar gender. “Laki-laki baru itu akan minta dikonseling kalau melakukan kekerasan pada perempuan,” kata ia mencontohkan. Golongan laki-laki itu akan berkomitmen untuk tidak diskriminasi perempuan.
Untuk itu, Komnas Perempuan dan penggiat hak-hak perempuan mendesak DPR segera mengesahkan RUU KKG. Dian mengatakan, desakan paling penting adalah dari internal parlemen untuk sahkan RUU Kesetaraan Gender. Meskipun begitu, Dian mengaku berbagai organisasi perempuan di antaranya Koalisi Perempuan Indonesia akan terus menyuarakan pada parlemen dan gelar konsolidasi nasional untuk desak RUU Kesetaraan Gender disahkan. (*)