ROBERT DANIEL WALONI sudah cukup lama memperhatikan dan mengamati dunia pariwisata di bumi Nyiur Melambai Sulawesi Utara khususnya Ibukota Manado. Menurutnya, Manado diproyeksikan bukan semata menjadi “a quality marine tourism destination” akan tetapi akan menjadi “an important tourism hub”.
Sebagai Tenaga Ahli Menteri Pariwisata RI Bidang Aksesibilitas Udara, Waloni mengatakan bahwa sejak tahun 1970-an, Manado sudah mulai dikunjungi wisatawan mancanegara melalui suatu organisasi grup (GIT). Scuba Divers Group dari Perancis waktu itu datang dengan daya tarik Taman Nasional Laut Bunaken.
Tipe wisatawan Perancis saat itu tidak terlalu memperhatikan kondisi Tourism Amenities seperti hotel, pelayanan makanan dan minuman (dinning) dan lain sebagainya yang masih sangat minim. Sepanjang keinginan di daerah tujuan wisata tercapai, maka aktivitas terus berlanjut.
Diving Tour waktu itu dilengkapi dengan sightseeing seperti Minahasa High lan Tour dan Tangkoko Batu Angus. Dari mulut para wisatawan itu sendiri Bunaken akhirnya semakin terkenal sebagai taman laun yang unik dan terindah di dunia.
Pemerintah RI menganugerahkan “Kalpataru Award” kepada (alm) Loky Herlambang sebagai Pimpinan NDC dengan maksud agar para praktisi terdorong untuk menjaga kelestarian objek wisata Bunaken.
PT Garuda Indonesia tanpa banyak persiapan kemudian membuka penerbangan penerbangan berjadwal melalui jenis pesawat DC-10 dengan rute Denpasar – Manado – Guam (PP). Guam sendiri merupakan salah satu daerah yang ada di negara Jepang yang banya dikunjungi wisatawan.
Penerbangan tersebut tidak berlangsung lama karena kebanyakan dari wisatawan Jepang bukanlah tipe Scuba Divers. Mereka merupakan vacationers yang mau menikpati pantai tropis dan berbelanja di Duty Free Shops. Mereka ini sangat memperhatikan Tourism Amenities yang berkualitas seperti hotel, dinning facilities, entertaintments, infrastruktur darat lengkap dengan fasilitas pelayanan umum dan lain sebagainya.
Di Jepang sendiri pemasaran dilakukan jauh hari sebelumnya. Akses langsung ked an dari Jepang ternyata juga diperlukan dan bukan melalui Guam. Itu adalah upaya untuk membuka jalur udara oleh Garuda Indonesia, yang waktu itu dipimpin (alm) RAL Lumenta. Namun membuka akses ternyata tidak cukup.
Banyak upaya yang dilakukan termasuk penyelenggaraan berbagai kegiatan berskala internasional namun jumlah kunjungan wisatawan ke Manado datar saja. Pningkatan jumlah wisatawan yang cukup tajam baru dirasakan pada tahun 2016 lalu. Hal it uterus berlanjut hingga semester pertama tahun 2017 ini.
Total wisatawan yang masuk melalui Bandara Internasional Sam Ratulangi di tahun 2016 adalah 41.054 orang dari tahun 2015 yang hanya berjumlah 19.758 orang. Itu berarti terjadi peningkatan sebesar 102%. Semetnara kenaikan jumlah wisatawan Tiongkok pada periode tersebut sebesar 228%.
Jika dibandingkan dengan wisatawan yang ke Sabah atau Cebu, maka jumlah itu belum signifikan. Namun demikian angka tersebut sudah tergolong luar biasa dan patut disyukuri. Tentu saja hal itu perlu dievaluasi agar pertumbuhan jumlah wisatawan bisa berkelanjutan.
Menteri Pariwisata Dr Ir Arief Yahya MSC selalu mengingatkan bahwa kunci keberhasilan daerah tujuan wisata yaitu 3A (Attraction/Atraksi, Amenity/Akomodasi dan Accessibility/Aksesibilitas).
Atraksi itu menyangkut alam, budaya dan buatan tangan manusia yang memiliki keunikan namun berkualitas. Hal itu menjadi syarat utama agar destinasi yang dikunjungi dan tentu saja disukai. Manado san Sulawesi Utara pada umumnya memiliki alam yang sangat menarik dan budaya yang unik.
Akomodasi yang memadai dari segi kuantitas dan kualitas menjadi penopang pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan yang berkesinambungan atau berkelanjutan. Sementara untuk akses ke Manado, mutlak hal itu harus dilakukan dengan menggunakan jasa transportasi udara. Dengan demikian, udara menjadi instrument penting untuk mendatangkan wisatawan ke Indonesia termasuk Manado.
“Yang diupayakan dan dikoordinasikan dengan pihak Kemenpar RI dalam rangka pencapaian Target Pariwisata Nasional yaitu 15 juta wisatawan di tahun 2017 dan 20 juta wisatawan pada tahun 2019. Tentu saja kita harus berterima kasih kepada pihak airlines, airports, air navigation dan Kementerian Perhubungan atas dukungannya. Sekalipun dengan keterbatasan dengan kpasitas bandar udara, namun sudah mampu mendorong pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara yang luar biasa,” ungkap Waloni.
Sampai dengan April 2017, pertumbuhan wisatawan mancanegara yaitu sebesar 26% disbanding periode yang sama di tahun 2016 lalu. Di sisi lain, keluhan wisatawan mengenai pencemaran lingkungan harus menjadi perhatian serius pemerintah melalui instansi terkait. Di dalamnya juga sudah termasuk kurangnya fasilitas rekreasi.
Pembangunan “Window of Indonesia” oleh Lion Air Group perlu didukung sebagai tempat dan wahana rekreasi “One Stop Entertaintments” dengan dilengkapi Souvenirs Shops oleh UMKM. Keberhasilan suatu destinasi bukan diukur dari jumlah wisatawan yang datang. Yang terutapa yaitu berapa yang datang lagi, demikian seterusnya.
Komitmen dan Visi Gubernur dan Wakul Gubernur Sulut seharusnya menjadi modal utama untuk mengundang investor membangun Tourism Amenities di Sulut, sehungga pertumbuhan dapat dipertahankan kelanjutannya.
Peningkatan kapasitas Bandara Internasional Sam Ratulangi yang sudah dirancang PT Angkasa Pura I dan Kementerian Negara BUMN terus dikawal realisasnya. Ini untuk menjamin konektivitas udara yang cukup untuk mewujudkan visi “One Million Foreign Tourist Arrivals ti Sulut by 2022”.
Airlines perlu destinasi baru untuk pesawat baru yang telah dipesan. Investor perlu products atau projects baru (yang “viable” tentunya) untuk uang mereka. Para pedagang perlu konsumen baru dan “tajir”. Pemerintah perlu pajak dari aktivitas ekonomi. Utamanya, rakyat perlu kesejahteraan melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.
Waloni sependapat dengan pandangan Gubernur Sulut bahwa pariwisata harus menjadi “Lokomotif” penggerak ekonomi daerah. Kalau bukan pariwisata, apa lagi? Mengenai hal ini bisa disearch di google dan bandingkan dengan Sabah, Serawak dan Ceb yang menjual Eco-Tourism yang sama-sama terletak di “Coral Triangle”. Disitu bisa dilihat peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai dampak dari sektor pariwisata.
Letak geografis dan cultural attractiveness yang dimiliki Manado dan Sulut hendaknya dipakai bukan untuk dirinya sendiri tetapi juga bagi pengembangan daerah sekitarnya. Jika bandara Sam Ratulangi sudah dikembangkan, maka ini akan difungsikan sebagai Hub untuk destinasi lain yang berjarak sampai dengan 1.20 jam dari MDC. Ini akan sangat mahal baik secara finasial maupun lingkungan untuk mengembangkan semua bandara disekitar menjadi sebesar MDC.
Destinasi unik dan berkualitas yang akan menjadi “Spokes” antara lain Talaud, Sangihe, Bolmong, Sitaro, Ternate, Gorontalo, Morotai, Raja Ampat, Luwuk, Wakatobi, Ambon, Toraja, Biak dan Sorong. Bayangkan, bagaimana ramainya kegiatan ekonomi di Manado dan semenanjung Minahasa. Kondisi ini sudah diproyeksikan oleh PT Angkasa Pura I sebagai pengelola Bandara di Manado.
Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang direncanakan di Minahasa Utara akan menjadi “tipping point” bagi kemajuan pariwisata Sulut dalam skala besar, berkelanjutan demi kesejahteraan rakyat Sulut dan sekitarnya. (***/frangkiwullur)