Mengelola Profesionalme Keprajuritan Berwatak Kultural, Religi, Kerakyatan Dan Ham Di Indonesia. Refleksi Pengalaman dan Pengenalan, Profil Om Johny Lumintang, oleh : Pieter George Manoppo.
Tabea basudara samua! Membaca informasi di media Facebook, milis Sulut Bosami dan surat kabar terbitan Sulut tentang sosok Om Johny Lumintang yang akan tampil sebagai salah satu calon Gubernur Sulut pada periode akan datang ini, mengingatkan saya tentang siapa Om Johny Lumintang yang pernah saya kenal (saya merasa dekat secara psikologis ketika menyapa beliau seperti itu).
Harus saya akui bahwa, pengenalan saya terhadap sosok Om Johny, tidak terlalu dekat dan kental, berbanding banyak saudara kawanua atau anggota Sulut Bosami Network yang lain. Namun demikian, berbekal pengalaman dan pengenalan yang terbatas itu, saya memberanikan diri untuk berefleksi dan berbagi informasi dari posisi dan sudut pandang pengenalan saya yang terbatas itu tentang profil Om Johny Lumintang. Semoga refleksi ini berguna bagi usaha bersama kita memetakan dan mengenal kiprah profesionalisme pengabdian diri dari profil calon pemimpin masa depan kitorang bersama bagi masyarakat adat, komunitas religi dan rakyat di Sulawesi Utara yang kitorang samua cintai bersama.
Professionalisme Keprajuritan: di Wilayah Teritorial
Pengenalan dan pengamalan saya yang pertama berkaitan dengan kiprah Om Johny sebagai seorang prajurit professional melalui perilaku Om Johny di wilayah teritorial. Suatu medan bersyarat-mutlak, tidak bisa ditawar-tawar, bagi lahir, bertumbuh, dan berkembangnya atau bagi proses pembentukan sistematis kadar kapasitas dan kompetansi seorang kader prajurit professional Indonesia.
Saya masih ingat, karier Om Johny itu dimulai dari wilayah teritorial yang meliputi antara lain: sebagai Komandan Batalyon TNI AD di Papua sekitar tahun 1984-1986, Dandim 1986-1988, Danrem di Tim Tim sekitar tahun 1993-1994. Kemudian karier Om Johny menanjak dengan mendapatkan kepercayaan negara sebagai Kasdam VIII Trikora, dan akhirnya mencapai puncak karier sebagai seorang perwira territorial dengan mendapatkan kepercayaan kepemimpinan sebagai Pangdam VIII Trikora di Papua Tahun 1996-1998 yang membawahi Papua dan Maluku. Suatu dinamika grafik perkembangan kinerja karier sistematis dan berbuahkan prestasi berupa kepercayaan negara terhadap Om Johny sebagai seorang prajurit professional di wilayah teritorial yang dimulai dari bawah (komandan Batalyon) sampai mencapai puncak prestasi posisi jabatan perwira territorial tertinggi, yakni Panglima Kodam.
Berkaitan dengan perkembangan karier Om Johny di wilayah territorial itu, ada beberapa catatan reflektif yang amat berkesan, dan karena sosok Om Johny tetap terekam dalam memori atau ingatan saya dengan kental sampai sekarang.
Perkembangan karier Om Johny sebagai prajurit professional dari level terendah (Danyon) sampai tertinggi (Pangdam) justru terjadi pada kawasan-kawasan teritori, sosial, ekonomi, politik, budaya, religi dan psikologis dengan kondisi yang keras dan menantang seperti Papua, Tim-Tim dan Maluku pada dekade 1980-an sampai 1990-an. Bahkan, kondisi ketiga provinsi tersebut merupakan representasi dari watak keras dan menantang dari wilayah Indonesia Timur pada umumnya.
Tidak hanya itu, saya masih ingat, wilayah territorial Provinsi Papua, Tim-Tim dan Maluku pada masa di mana Om Johny mendapatkan tempaan dan pembentukan kapasitas, kinerja dan prestasi profesionalisme keprajuritannya itu, adalah provinsi-provinsi yang berciri: baik kontinental (Papua) dan kepulauan (Tim Tim dan Maluku), berada di garis terdepan batas negara berhadapan dengan wilayah Pasifik, Philipina, Papua New Quinie, dan Australia, memiliki segala konsekuensinya terhadap perjuangan menegekkan eksistensi, jatidiri dan martabat masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia, diliputi dengan isu-isu sensitif berkaitan dengan konflik sosial, kekerasan, lingkungan, pengelolaan SDA dan ekonomi, masyarakat adat, ketegangan politik, kemanusiaan dan HAM. Suatu kawasan territorial yang berwatak keras, majemuk, pintu gerbang batas Negara, penuh tantangan dan resiko, baik secara internal dan eksternal.
Watak dan tantangan territorial tersebut bukan saja merupakan prasyarat utama pembentukan kapasitas, kompetensi, kinerja dan prestasi Om Johny sebagai seorang prajurit professional di wilayah territorial, tetapi lebih dari itu, watak dan tantangan wilayah territorial di ketiga provinsi Bagian Timur Indonesia itu telah menjadi kondisi sosial strategis yang mengantarkan seorang Om Johny meniti kinerja, karier dan prestasinya secara terpola sehingga mendapatkan kepercayaan negara dan rakyat Indonesia untuk menduduki posisi jabatan strategis sebagai perwira territorial tertinggi di wilayah tersebut, yakni Panglima Kodam VIII Trikora.
Bila saya ingat dan berfleksi kembali tentang kinerja, karier dan prestasi keprajuritan profisional Om Johny di tiga provinsi wilayah Timur Indonesia tersebut, ternyata keberhasilan Om Johny, bukan karena kapasitas dan kompetensi Om Johny sebagai seorang prajurit professional semata. Tetapi terlebih, karena kapasitas dan kompetensi Om Johny dalam mengelola professionalme keprajuritannya tersebut dalam nafas atau semangat menegakkan fondasi kultural, religi, kerakyatan dan HAM yang kental sekali di wilayah Papua, Maluku dan Tim Tim sebagai representasi wilayah Indonesia Timur yang memiliki watak dan tantangan yang amat khas bagi Negara Kepulauan dan masyarakat majemuk Indonesia.
Inilah yang membuat saya terkesan terhadap sosok Om Johny dengan kombinasi kompetensi ganda dan strategis sebagai seorang prajurit profesional di wilayah Timur Indonesia. Kalau saya tidak hendak mengatakannya secara berlebihan, bahwa sosok Om Johny seperti itulah yang tersimpan amat lama dalam memori saya. Sehingga sulit saya lupakan.
Kalau kita bertanya, apa sih relevansi dan manfaat dari sosok Om Johny dalam mengelola professionalisme keprajuritan dengan mengedepankan semangat dan perilaku kultural, religi, kerakyatan dan HAM itu?
Berdasarkan pengenalan dan pengalaman saya yang terbatas tentang sosok Om Johny, saya merasakan bahwa Om Johny benar-benar seorang prajurit professional yang berhasil mendapatkan kepercayaan negara dan rakyat untuk untuk mencapai prestasi perwira tertinggi sebagai panglima teritorial KODAM. Prestasi tersebut tidak semata karena kapasitas dan kompetensi keprajuritannya. Namun di balik keberhasilan itu, karena Om Johny lebih mengedepankan pola komunikasi dan dialog kepemimpinan teritorial berbasis pada fondasi nilai-nilai kultural, religi, kerakyatan, dan HAM.
Saya masih ingat ketika di Tim-Tim, saat seorang anak buahnya pada malam hari dan di saat pemberlakuan jam malam, menembak seorang anak Kepala Suku di wilayah terlarang. Menghadapi potensi amuk warga atau masyarakat adat, Om Johny lebih memilih komunikasi dan dialog dengan pendekatan budaya, religi, kerakyatan dan HAM sebagai titik tolak atau basis pengembangan karier keprajuritan profesionalnya, dan bukan sebaliknya. Pilihan mana berhasil meredam akumulasi aksi balas dendam masyarakat adat atas kematian anak kepala sukunya. Bahka, pola komunikasi dan dialog tersebut menginspirasi kepala suku dan masyarakat adat untuk meminta kepada Om Johny agar pelaku penembakan tidak mendapatkan proses hukum militer. Walaupun Om Johny mesti terbuka untuk menampung aspirasi kultural, religi dan kerakyatan masyarakat adat tersebut, tetapi sebagai prajurit professional, menegakkan hukum dengan melaksanakan pengadilan militer dan penegakkan HAM terhadap prajuritnya itu tidak serta merta diabaikan.
Contoh yang kedua, saya ingat waktu Om Johny bertugas sebagai Panglima Kodam VIII Trikora di Papua dan Maluku. Suatu saat ketika terjadi ketegangan teritorial yang melibatkan pihak TNI, Polri, OPM dan masyarakat Papua, Om Johny mengambil keputusan untuk tidak menggunakan operasi militer dan mobilisasi pasukan, tetapi sekali lagi komunikasi dan dialog kultural, religi, kerakyatan dan HAM. Om Johny meminta untuk pergi ke masyarakat dan berdialog langsung dengan masyarakat. Agar perjalanan tugasnya dengan penuh resiko itu lancar, dipilihnya ajudan, supir dan ahli tembak yang seluruhnya anak Papua. Keputusan Om Johny, tidak lasim dan berlawanan dengan SOP Keprajuritan Profesional. Seorang Panglima Kodam tidak boleh mengambil langkah melawan arus SOP seperti itu.
Dalam kondisi yang rentan itu, watak Om Johny sebagai manajer teritorial professional keluar. Hal mana terekspresi melalui pernyataan sikapnya kepada para prajuritnya waktu itu, “kalau kitorang bisa menangkan perang ini tanpa berperang, kenapa tidak. Kitorang harus memenangkan hati dan pikiran rakyat”, kata Om Johny.
Kalimat yang terakhir ini disampaikan Om John dengan gayanya yang tenang, tegas dan luwes sebagai seorang Panglima Kodam dan Perwira Tertinggi Teritorial, dengan menggunakan bahasa Inggrisnya yang fasih. “We have to win the heart and mind of the people”
Om Johny tahu, strategi teritorial utama untuk memenangkan hari dan pikiran rakyat di wilayah Timur Indonesia adalah, pergi kepada rakyat, berkomunikasi dan berdialog langsung dengan rakyat di mimbar kerakyatan, di kampung-kampung. Di sana, hadir para pemuka rakyat: tokoh adat, agama, pendidikan, pemuda dan perempuan. Dari sanalah, kemenangan perang tanpa berperang dimulai dan diperoleh, memenangkan hati dan pikiran rakyat di tanah Papua, juga Tim-Tim, Maluku dan Papua memperoleh polanya.
Bila sekarang saya ingat kembali rekaman proses yang tersimpan dalam memori saya tentang sosok Om Johny, saya bersyukur pada anugerah Tuhan dan hormat sangat pada Om Johny. Suatu kharisma anak negeri Nusantara ini yang berasal dari wilayah Timur Indonesia, yang dapat kitorang generasi sekarang jadikan referensi sosok kepemimpinan teritorial Indonesia Timur khususnya dan Indonesia umumnya.
Dugaan saya, nampaknya keberhasilan Om Johny untuk mengembangkan Model Pengelolaan Profesionalisme Keprajuritan berbasis Kultural, Religi, Kerakyatan dan HAM di Wilayah Indonesia Timur itu yang menjadi salah satu alasan kenapa Om Johny mendapatkan kepercayaan negara untuk menjadi pimpinan lembaga pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia Indonesia melalui jabatan Komandan Sekolah Komando ABRI atau Dan.Sesko ABRI dan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional – Lemhanas.
Artinya, keberhasilan mengelola profesionalisme di bidang territorial, menjadi prasyarat memimpin lembaga pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia para calon pemimpin secara nasional. (BERSAMBUNG)