Jakarta, BeritaManado.com — Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Perppu Pilkada itu telah ditandatangani Jokowi pada Senin (4/5/2020) kemarin.
Nomenklatur perppu tersebut adalah Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow mengatakan Perppu nomor 2 tahun 2020 merupakan perubahan Ketiga atas Undang-Undang (UU) nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
“Perppu ini secara ringkas berkaitan dengan penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020, tentunya ini harus disambut dengan gembira karena Perppu ini telah cukup lama ditunggu untuk menjadi dasar penundaan Pilkada serentak tahun 2020 yang beberapa waktu ini menjadi polemik dan tidak ada kepastian sebab tahapannya terhenti akibat Pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia termasuk Indonesia,” kata Jeirry Sumampow, Rabu (6/5/2020) kepada BeritaManado.com.
Pada dasarnya, Jeirry Sumampow menjelaskan Perppu itu hanya mengatur satu hal yakni penundaan waktu pemungutan suara Pilkada serentak 2020 yang sedianya akan dilaksanakan September diundur ke Desember 2020 namun jika nanti terjadi bencana “nonalam” lagi maka bisa ditunda lagi, itulah yang diatur dalam Pasal 201A.
“Sejak awal Perppu nomor 1 tahun 2020 diharapkan banyak kalangan bisa menjadi jalan keluar dari ketidakpastian yang terjadi akibat Pandemi Covid-19 dan mengakhiri polemik berkepanjangan tentang kapan pastinya Pilkada Serentak 2020 ini dilaksanakan setelah terhenti beberapa waktu. Sayangnya, kepastian itu tidak muncul karena ternyata masih saja akan tergantung dari kapan persisnya Pandemi Covid-19 ini berhenti atau sejauh mana Pemerintah mampu menyelesaikan wabah covid-19 ini, jadi masih belum ada waktu yang pasti,” jelas Jeirry Sumampow.
Lebih lanjut, Sumampow menuturkan dalam Perppu tersebut memang telah ditegaskan bahwa waktu pelaksanaan pungut-hitung Pilkada Serentak diundur pada Bulan Desember 2020.
“Namun itu hanya bisa terlaksana dengan catatan pandemi Covid-19 ini dapat kita selesaikan pada akhir Mei, agar tahapan yang tertunda bisa dimulai pada awal Juni, jika tidak selesai maka bisa ditunda kembali,” ungkapnya.
Sumampow juga menambahkan ini memang skenario optimis yang dipilih Pemerintah dari 3 opsi yang ditawarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Semua rakyat Indonesia pasti berharap agar Pandemi ini cepat usai, tapi berdasarkan prediksi para ahli kemungkinan Pandemi Covid-19 ini masih akan berlangsung lebih dari Bulan Juni, belum lagi jika kita menghitung dampaknya prediksinya bisa sampai akhir tahun ini,” ujarnya.
Perppu ini pada akhirnya belum bisa menyelesaikan persoalan kepastian pelaksanaan Pilkadanya, Ia menambahkan maka pertanyaan pentingnya adalah mengapa tidak ditunda setahun ke September 2021?, agar semua pihak bisa lebih pasti dan lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengapa harus tetap dipaksakan tahun ini?.
“Perppu ini masih bersifat setengah hati sebab masih terkesan coba-coba, ibaratnya begini ‘coba dulu tunda Bulan Desember 2020, tapi jika Pandemi ini masih lanjut, nanti kita tunda lagi’, belum ada kepastian,” tegasnya.
Sekarang bagaimanapun situasinya nanti Perppu sudah keluar, lanjut Ia menuturkan karena itu, mau tak mau untuk semua harus mempersiapkan pelaksanaan Pilkada serentak 2020 ini di Bulan Desember mendatang.
“Kita berharap Pagebluk ini tidak lagi berkepanjangan agar rencana penundaan yang diatur Perppu ini bisa kita laksanakan secara maksimal,” tuturnya.
Sumampow mengakiri dengan mengemukakan beberapa catatan yang perlu mendapatkan perhatian.
- Perlu mendapatkan perhatian soal partisipasi pemilih. Kami melihat dampak Pandemi ini akan sampai akhir tahun ini. Sehingga dapat diartikan bahwa suasana psikologi sosial rakyat masih akan terpengaruh Covid-19. Paling tidak trauma masih ada. Dan ini dikuatirkan akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi pemilih. Artinya partisipasi diprediski akan menurun. Soal ini perlu dicermati betul oleh penyelenggara pemilu untuk mencari solusi yang terbaik agar partisipasi pemilih tidak anjlok.
- Ada kerawanan program penanganan Pandemi Covid-19 ini, khusus dalam bentuk bantuan sosial kepada rakyat korban dan terdampak, digunakan untuk kepentingan politik petahana dalam Pilkada nanti. Hal seperti ini sudah sering terjadi di masa lalu dan karena itu dilarang. Apalagi bantuan sosial adalah jenis program yang paling mudah menarik simpati rakyat. Karena itu, untuk mengurangi kerawanan itu, ada baiknya jika model penyaluran bantuan sosial diganti dalam bentuk uang dan disalurkan melalui rekening bank. Ini bisa.menutup ruang pertemuan langsung antara petahana dan pemilih. Dengan sendirinya,bhal ini juga bisa mengurangi kemungkinan pencitraan petahana yang turun langsung ketemu pemilih dalam membagikan bantuan sosial itu.
- Kewenangan Kepala Daerah dalam pengalihan dana APBD untuk penanganan Pandemi Covid-19 juga menimbulkan kerawanan disalahgunakan atau dikorupsi. Juga bisa dialihkan untuk kegiatan yang bisa menjadi ajang pencitraan kepada petahana. Begitu juga, belanja alat kesehatan, obat-obatan dan bahan-bahan bantuan bisa dikorupsi jika tidak diawasi dan dilaporkan secara transparan ke publik. Karena itu, memang perlu pengawasan ketat dari parlemen setempat. Dan publik harus kritis terhadap apa yang dilakukan kepala daerah di masa Pagebluk ini.
- Pendanaan Pilkada juga harus ditinjau kembali. Sebab apakah dana yang tersisa masih cukup memadai untuk menjalankan sisa tahapan? Kalau tidak, masihkah ada dana untuk setiap daerah untuk penambahan? Mengingat anggaran di daerah juga sudah dialihkan semua untuk penanganan Pandemi ini. Hal itu perlu mendapatkan perhatian agar tak mengganggu kelancaran proses dan kualitas Pilkada. Karena itu, segera perlu ada koordinasi antara Pemerintah Daerah dan Penyelenggara Pemilu untuk membicarakannya.
(Rei Rumlus)