Manado, BeritaManado.com — Prabowo Subianto menyampaikan target pencapaian angka pertumbuhan ekonomi itu dalam acara peluncuran Geoportal One Map Policy 2.0 dan White Paper OMP Beyond 2024 di St. Regis, Jakarta Selatan, Kamis (18/7).
“Tadi Menko Perekonomian menyampaikan bahwa kita optimis bisa mencapai lebih dari lima persen pertumbuhan (ekonomi). Kalau saya, lebih berani lagi, kita harus berani menaruh sasaran yang lebih tinggi, kalau saya optimis kita bisa mencapai delapan persen pertumbuhan (ekonomi),” ungkap Prabowo.
Pada kesempatan itu, Prabowo juga menceritakan bahwa ia bertaruh dengan beberapa menteri dari negara tetangga terkait pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Taruhan itu menyebutkan jika selama masa pemerintahannya Indonesia berhasil meraih pertumbuhan ekonomi delapan persen sekali saja, para menteri dari negara tersebut akan membelikannya makan malam.
“Ada beberapa menteri dari sebuah negara yang taruhan sama sama saya, your excellency, if you can achieve eight percent growth, sekali saja dalam lima tahun yang akan datang, they are going to buy me a dinner,” tuturnya.
Optimisme Prabowo terhadap pencapaian target yang tinggi ini bukanlah tanpa alasan.
Menurutnya, Indonesia memiliki kekayaan dan potensi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen tersebut.
“Tapi memang kita harus lebih efisien, kita harus kelola dengan baik, ambil kebijakan yang masuk akal, dan kita harus bertekad untuk mitigasi kebocoran, mitigasi penyelewengan, mitigasi kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan kepentingan nasional dan kepentingan rakyat,” tegasnya.
Ia juga yakin beberapa kebijakan warisan Presiden Jokowi, seperti e-catalog, pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK), pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN) akan bisa mempercepat pembangunan di Tanah Air.
Ekonom Pertanyakan Strategi Prabowo
Ekonom Indef Tauhid Ahmad mempertanyakan strategi apa yang akan dilakukan oleh Prabowo ke depan, karena jika dilihat dari berbagai sisi, akan cukup sulit mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen dalam kurun waktu lima tahun.
Dari sisi eksternal, kata Tauhid, dengan kondisi geopolitik akan cukup sulit, karena inflasi global yang stagnan dalam beberapa waktu terakhir.
Apalagi inflasi di sebagian besar negara-negara berkembang tetap berada di atas 10 persen.
Hal ini akan berdampak pada kebijakan suku bunga tinggi, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak bisa terdongkrak tinggi.
“Artinya dari sisi itu saja, tidak ada bisa meningkat pertumbuhan ekspor impor. Bahkan kemarin, sekitar 1-2 persen saja pertumbuhannya. Kalau dia ingin kontribusinya lebih besar lagi maka faktor global harus lebih besar. Masalahnya faktor global kita tidak bisa ubah,” ungkap Tauhid ketika berbincang dengan VOA.
Sementara dari sisi konsumsi masyarakat – yang juga merupakan faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi tanah air – juga sangat bergantung pada daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.
Untuk meningkatkan daya beli mereka, perlu ada peningkatan pendapatan, suatu instrument yang juga bergantung pada peningkatan upah, yang juga maksimal rata-rata hanya mencapai lima persen.
“Sehingga kalau ingin mendorong katakanlah sampai delapan persen, kenaikannya upahnya saja tidak sampai delapan persen, bagaimana bisa mendorong daya beli karena inflasinya cenderung rendah. Apalagi kalau inflasi tinggi, itu akan menggerus daya beli,” tambahnya.
Sedangkan, katanya, jika dilihat dari sisi sektor industri – yang dalam hal ini adalah hilirisasi atau industrialisasi – juga dinilai cukup sulit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi delapan persen, karena pertumbuhan sektor ini hanya empat persen.
“Kalau ingin kontribusinya besar itu tidak mungkin dalam lima tahun, karena industri rata-rata long term growth baru bisa besar pertumbuhannya. Lalu kalau dari sektor pertanian trennya itu tiga persen sudah paling bagus, karena kita pertaniannya berbasis pangan, jadi sumbangan terhadap PDB-nya makin turun apalagi importasi besar,” jelasnya.
Tauhid sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Bappenas, yang sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal ada di kisaran enam persen.
Berkaca kepada negara seperti China yang pertumbuhan ekonominya pernah di atas delapan persen, Tauhid menyatakan bahwa hal tersebut dicapai dalam waktu yang cukup lama.
“Jadi sulit, karena faktor pendorongnya apa? Kalau kita mengacu ke India sama China. India paling hanya tujuh sekian persen, belum delapan persen. China yang pernah delapan hingga sembilan persen, dan itu benar-benar reformasi total di sektor-sektornya. Dengan catatannya pemerintahannya kuat,” ujarnya.
“India itu mereka mendongkrak daya beli, jadi lapangan kerja dan sebagainya yang bisa mereka ciptakan. Jadi mereka berupaya di situ, apalagi penduduknya besar sama seperti Indonesia,” ujarnya seraya menambahkan, “lama mereka (India dan China) persiapannya, fundamentalnya berupa inovasi teknologi berbasis industri baru, tentu butuh pekerjaan puluhan tahun,” imbuh Tauhid.
(Sumber: voaindonesia.com)