Pilar Demokrasi
Hasil kerjasama beritamanado denga KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Jakarta – Jumlah pemilih saat pemilu 2014 mencapai 175 juta orang. Hampir setengahnya adalah pengguna sosial media. Tahun ini saja pengguna internet mencapai 82 juta orang. 50 juta diantaranya adalah pengguna facebook dan 29 juta lainnya pengguna twitter. Lalu apakah sosialisasi lewat sosmed terkait pemilu 2014 akan berhasil mencakup seluruh masyarakat Indonesia? Bagaimana dengan kaum marginal dan perempuan marginal?
Edi Saidi dari Konsorsium Masyarakat Miskin Kota atau UPC mengungkapkan, penggunaan akses internet oleh kaum marginal, belum maksimal. Keterbatasan akses, sarana dan prasarana menjadi salah satu faktor terhambatnya melek internet bagi mereka. Ditambah lagi sedikitnya waktu luang yang mereka peroleh karena sebagian dari mereka harus hidup di jalan. Menurut Edi, untuk saat ini, akses internet termasuk penggunaan sosial media, masih terbatas bagi kalangan tertentu saja.
Berkaca dari pengalaman-pengalaman pemilukada, pilres dan pemilihan umum lainnya, bagi kaum marginal, sosialisasi yang dilakukan politisi bersama partainya biasanya dilakukan dengan kunjungan langsung ke lapangan. Edi Saidi mengatakan, penggunaan alat kampanye seperti baliho, spanduk dan pamflet, masih sangat populer di kalangan marginal. Karena itu dia memprediksi, penggunaan kampanye “tradisional” itu akan tetap dipakai. Meski begitu dia mengkritik politisi dan parpol yang hanya menjadikan kampanye itu sebagai pencitraan. “Mereka jarang memberitahu maksud dan tujuan menjadi politisi. Dan biasanya mereka mengimi-ngimingi masyarakat dengan sembako,” tuturnya.
Senada dengan Edi, Musyriah dari Sekolah Perempuan Ciliwung menyatakan kampanye melalui sosial media, belum mengena dikalangan perempuan marginal. Meski dirasa penting, menurutnya, kampanye tradisional justru lebih bisa mendulang suara. Itu karena adanya proses interaksi dan komunikasi diantara politisi, parpol dan masyarakat.
Sementara itu Public Virtue yang konsen terhadap sos-med menyatakan selama ini isu-isu yang dibawa dalam sos-med, belum menyentuh hingga ke persoalan akar rumput. Direktur riset Virtue AE Priyono mengatakan selama ini kecenderungan yang ada, isu di sos med, masih mengikuti perkembangan media konvensional yang ada. Dia mengakui, perkembangan tekhnologi ikut berpengaruh terhadap jalannya demokrasi, seperti kampanye lewat sosial media.
Masyarakat Harus Jeli Pilih Politisi/Presiden
Terbukanya akses internet, memang memudahkan para politisi untuk berkampanye mencitrakan diri. Agar tak mudah terjebak, Edi Saidi menyarankan agar para pemilih yang gunakan akses sos-med, lebih jeli terhadap track record yang bersangkutan. “Jangan mudah percaya. Tapi coba browsing apa saja sih yang sudah dia lakukan? Apakah ada pelanggaran?” pesan dia.
Terkait sosialisasi KPU yang belakangan menggunakan sarana sos-med, Musyriah berharap agar mereka tetap terjun langsung di lapangan. “Sekali lagi, akses internet kami masih terbatas. Masih banyak yang belum kenal apa itu facebook dan twitter. Jadi dengan turun langsung ke lapangan, sekaligus memberikan pendidikan politik bagi perempuan,” tuturnya.
Sementara itu untuk kaum perempuan marginal, adalah pekerjaan rumah bersama untuk bisa membuka pemikiran akan dunia perpolitikan. Musyriah mengaku dirinya sudah membuka pendidikan politik bagi perempuan. “Jadi jangan ngekor suami saja. Karena selama ini seperti itu. Jadi perempuan bisa mengerti apa yang diperjuangkan para politisi. Apakah benar menyuarakan perempuan atau tidak? Jangan sampai terjebak!” harap dia. Kata dia, selama ini perempuan hanya mengikuti saja kemauan suami atau keluarganya dalam, setiap ada pemilihan umum. Anggapan-anggapan seperti itu yang kini diperjuangkan Musyriah bersama kelompoknya. (oke)