
“Pekatnya kopi, manis gurihnya selewir, kisah orang-orang pasar, dan hari-hariku di tanah anak-anak gunung api, masih mengisi ruang ingatan. Gemintang malamnyapun seakan dapat kulihat dari Yogyakarta”
PPKM membuat saya tidak mengunjungi area riset saya di Tomohon dan Minahasa. Selain merindukan aroma uap panas bumi (geotermal) di Lahendong dan Tompaso, sudah barang tentu saya merindukan kopi, biapong, dan kacang Kawangkoan.
Lapangan uap panas dari perut bumi di Lahendong dan Tompaso telah memasok 6 unit Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, yang secara keseluruhan memiliki kapasitas terpasang 120 MWe.
Energi dari uap yang telah diekstraksi untuk membangkitkan listrik, dan sisa uap yang biasanya dilepas ke udara sebenarnya masih dapat dimanfaatkan untuk banyak hal.
Misalnya, untuk mengolah hasil-hasil pertanian. Pemanfaatan semacam itu disebut sebagai pemanfaatan langsung.
Kawangkoan sudah lama mengumumkan diri sebagai “Kota Kacang”.
Ada tugu berbentuk kacang raksasa menyambut para pengunjung. Di sepanjang jalan utamanya kita bisa mendapatkan oleh-oleh kacang tanah sangrai yang manis gurih, asli tanpa tambahan perasa.
Warna kulit ari kacangnya ada yang merah, putih, bahkan ada yang bercorak batik!
Dalam satu kulit, bisa ada empat hingga tujuh butir kacang. Mengeringkan kacangnya dengan cara dijemur di bawah terik matahari, kemudian disangrai menggunakan pasir.
Tentu sangat tergantung cuaca, dan masih membutuhkan bahan bakar. Padahal hanya sekitar 2 – 3 km dari kota kacang ini ada lapangan geotermal sektor Tompaso.
Ekses uap yang biasanya dibiarkan terbang ke angkasa, akan lebih bermanfaat jika dapat disalurkan untuk mengeringkan kacang.
Sinergi antara industri geotermal dengan petani kacang dan produsen oleh-oleh ini tentu akan menguatkan karakter Kota Kawangkoan, dan bahkan Sulawesi Utara, yakni sebagai penghasil energi panas bumi sekaligus daerah industri agro berbasis energi bersih dan terbarukan.
Bukan mustahil kelak biapong temopun kacangnya dikeringkan dengan uap geotermal. Demikian pula biji kopinya, mengapa tidak disangrai dengan menggunakan energi geotermal?
Tak ada salahnya dicoba dulu dengan memakai pilot plant pengeringan yang ada di sektor Lahendong.
Di sektor Lahendong, tepatnya di dekat klaster sumur LHD-13 sejak tahun 2012 sudah ada pemanfaatan langsung untuk memasak saguer menjadi gula merah. Wajan-wajan pemasak saguer pada industri gula merah itu mendapatkan pasokan uap yang merupakan CSR dari PT Pertamina Geothermal Energy.
Ada pula pilot plant di area klaster sumur LHD-13 itu yang boleh digunakan oleh masyarakat untuk mengeringkan aneka produk pertanian.
Prinsip pengeringan dengan energi geotermal sangat sederhana. Uap disalurkan dengan pipa-pipa ke dalam ruang pengering produk. Prosesnya bersih, dan temperatur ruangannyapun dapat dikontrol.
Berbagai produk yang pernah dicoba dikeringkan dengan fasilitas pilot plant di Lahendong antara lain kelapa, cengkeh, milu, dan bunga.
Hasilnya memuaskan, tetapi saya belum melihat pemanfaatan yang berkelanjutan oleh masyarakat.
Padahal, pengeringan menggunakan energi geotermal berarti tidak perlu lagi ada penebangan pohon untuk kayu bakar, atau tidak perlu ada kekhawatiran produk tidak kering karena sinar matahari sedang tidak kuat. Industri kecil juga tidak perlu khawatir akan harga BBM yang kian melambung.
Memang energi panas dari uap tidak dapat dipindahkan terlalu jauh dari sumbernya, sehinga instalasi pengering harus berada di sekitar area sumur geotermal.
Pengunaan energi geotermal untuk mengolah hasil bumi akan menjadi branding yang dapat membantu revitalisasi perekonomian dalam upaya pemulihan hijau. Kini dunia menganut tren ekonomi hijau, di mana penggunaan energi-energi bersih terbarukan dalam mengolah komoditas menjadi lebih diminati oleh konsumen.
Kawangkoan pasti bisa mempelopori dengan “kacang geothermal” nya.
Penulis: Dr. Pri Utami
Pusat Penelitan Panas Bumi, Universitas Gadjah Mada.