Pilar Demokrasi
Hasil Kerjasama beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Kereta Rel Listrik (KRL) yang kini bernama KA Commuter Jabodetabek telah menjadi moda tranportasi massal bagi warga Jabodetabek sejak puluhan tahun. Sayangnya moda transportasi ini belum bisa melepas potret buramnya.
Hal tersebut terjadi karena persoalan pengelolaaan KRL oleh PT KAI. Beberapa masalah terkait pengelolaan KRL di antaranya: keterlambatan, penghapusan KRL ekonomi dan kenaikan harga tiket, penggusuran pedagang di stasiun-stasiun yang dilewati KRL, dan lain-lain. Yang paling dirugikan dengan masalah tersebut tentu saja pengguna layanan dan para stakeholder yang bersentuhan dengan layanan KRL, termasuk para pedagang yang ada di beberapa stasiun.
Padahal seperti yang tercantum dalam UU no. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, unit layanan harus melibatkan masyarakat sebagai pengguna layanan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Masyarakat dilibatkan sejak perencanaan, penyelenggaraan, hingga pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik yaitu dengan terlibat dalam penyusunan Standar Pelayanan Publik. Jika sebuah unit layanan telah memiliki Standar Pelayanan Publik, seharusnya kualitas pelayanan pun sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Ketua Persatuan Pegiat Usaha Stasiun Se-Jabodetabek Sri Wahyuni mengatakan pelayanan KRL masih sama dengan dulu. Pelayanan buruk yang masih dialami diantaranya, penumpang berjubel, AC tidak dingin, sering terlambat. Kata dia, yang sudah mengalami perubahan adalah kondisi stasiun yang masih kumuh, karena puing-puing bekas pedagang stasiun yang digusur paksa belum dibersihkan.
” Malah tambah semrawut loh mas, kan sekarang pake e-ticketing itu gatenya kurang dan itu memperlambat arus orang untuk bertransaksi sedangkan antriannya, panjangnya lebih dari ular naga. Banyak penumpang yang marah. Bahkan ada alat e-ticketing yang rusak. Padahal baru beli yah,” ujar Sri Wahyuni saat menjadi narasumber di perbincangan Pilar Demokrasi.
Sementara itu, pengguna setia kereta, KRL Mania pernah menyerahkan evaluasi fasilitas kereta pada Juni 2011 lalu. Juru Bicara KRL Mania Agam Fatchurrochman mengatakan dalam evaluasi tersebut pihaknya menyerahkan 25 butir evlaluasi. Namun, dari PT KAI tidak pernah menanggapi evaluasi standar pelayanan yang diberikan.
Menurut Anggota Ombusdman RI Budi Santoso, penerapan standar pelayanan minimum kereta api sudah jelas diatur dalam peraturan Menteri Perhubungan. Pada peraturan ini, mengatur tentang penyediaan informasi, penyejuk udara, fasilitas khusus untuk penyandang difable di stasiun dan KRL. Kata dia, jika memang pelayanan yang disediakan tidak sama dengan kondisi yang ada, maka masyarakat bisa melaporkan hal ini ke Ombusdman RI.
Berdasarkan data dari forum KRL Mania yang diterima Ombusdman RI, pelayanan yang disediakan oleh PT KAI belum terselenggara dengan baik. Mulai dari penyediaan informasi yang kurang dan tempat ibadah yang belum layak.
Mengenai pembongkaran kios-kios pedagang di stasiun KRL beberapa waktu lalu, Ketua Persatuan Pegiat Usaha Stasiun Se-Jabodetabek Sri Wahyuni mengatakan pernah diadakan pertemuan antara direksi PT KAI dan PT KCJ dengan para pedagang dan Ombusdman. Kata dia, dalam pertemuan PT KAI sempat membohongi Ombusdman dengan mengatakan tidak menarik iuran kepada para pedagang sejak 2011 lalu. Padahal menurut Sri Wahyuni, pihak stasiun masih menarik iuran hingga 2013. Program penggusuran yang dilakukan PT KAI pun tidak pernah disosialisasikan.
Persatuan Pegiat Usaha Stasiun Se-Jabodetabek Sri Wahyuni mengatakan meski kios-kios pedagang sudah dibongkar. Namun, pihaknya masih berjuang membela hak-haknya. (*/oke)