
Pendeta Romisak Toijon
Jakarta, BeritaManado.com — Pendeta Romisak Toijon mengkritisi keberadaan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang pendirian rumah ibadah.
Hal itu dinilainya menjadi salah satu penyebab utama sulitnya umat non-muslim membangun tempat ibadah di daerah dengan mayoritas agama berbeda.
Dalam sebuah diskusi yang membahas kebebasan beragama di Indonesia, Pendeta Romisak Toijon menyoroti berulangnya kasus-kasus intoleransi.
Salah satu yang menjadi keprihatinan yaitu tragedi pembakaran gereja di Aceh Singkil.
Meski akhirnya rumah ibadah tersebut berhasil dibangun kembali, insiden itu memperlihatkan betapa rentannya hak beribadah umat minoritas di beberapa wilayah.
“Persyaratan izin lingkungan yang diatur dalam SKB 3 Menteri seringkali menjadi alat untuk menolak pendirian gereja atau vihara, bahkan ketika umatnya sudah memenuhi syarat administratif lainnya,” ujar Pendeta Romisak.
Ia juga menyinggung sejumlah kasus lain di mana pembangunan gereja dihambat, bukan karena masalah teknis, melainkan karena tekanan mayoritas masyarakat sekitar.
Pendeta Romisak Toijon menyebut kondisi ini bertolak belakang dengan semangat konstitusi yang menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warga negara.
Menariknya, Pendeta Romisak Toijon mengungkap kisah sukses kerja sama antara pihak gereja dan aparat keamanan, seperti TNI, dalam menjaga ketertiban dan menjamin kenyamanan beribadah.
“Kalau keamanan bisa dijamin untuk diskotek, kenapa rumah ibadah tidak?” tanyanya, menyindir ketimpangan perhatian yang kadang muncul di lapangan.
Ia menyerukan pencabutan SKB 3 Menteri dan SKB Gubernur yang dianggap memperumit proses pendirian rumah ibadah.
Menurutnya, sudah saatnya seluruh elemen masyarakat, baik tokoh agama, pemerintah, hingga masyarakat sipil, angkat suara dan menyuarakan urgensi revisi kebijakan ini.
“Negara harus hadir melindungi hak semua umat beragama, tanpa kecuali,” tegas Pendeta Romisak Toijon.
(***/Frangki Wullur)