Ist.
AIRMADIDI, BeritaManado.com – Suku Tonsea, adalah suatu suku tua Minahasa yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Tonsea ini terutama bermukim di Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Airmadidi, Kauditan, Kema, Kota Bitung, Tatelu, Talawaan dan Likupang Timur. Ada juga di wilayah Tonsea Lama di Tondano Kabupaten Minahasa.
Sebagai satu dari sembilan suku besar di Minahasa, suku Tonsea dikenal dalam sejarah sebagai orang yang terbuka. Ini dampak dari letak geografisnya yang diapit dua kota yaitu Manado dan Bitung.
Satu yang unik serta sering jadi perbincangan di kalangan warga Sulut, adalah gengsi tinggi rata-rata masyarakat asli Tonsea terhadap kehidupan sosial masyarakat, termasuk soal pendidikan.
“Kultur orang Tonsea dalam sejarah Minahasa, dikenal sebagai orang yang sukses. Masyarakat suku Tonsea, pada umumnya berprofesi sebagai petani. Mereka menanam beberapa jenis sayuran, termasuk jagung, beberapa jenis buah-buahan, juga cengkeh. Sebagai petani, orang Tonsea punya gengsi tinggi dalam bermasyarakat. Orang Tonsea cenderung ingin memperkenalkan diri sebagai orang sukses, makmur. Ini ikut berpengaruh para pendidikan anak-anak dari suku ini. Orang tua harus bekerja keras, untuk menyekolahkan anaknya hingga mencapai pendidikan tertinggi di zaman itu,” kata Jean Waturandang, tokoh masyarakat Minahasa Utara, Minggu (12/7/2015).
Seiring berjalan waktu, sikap orangtua suku Tonsea asli, berkembang menjadi sebuah pola hidup turun-temurun dan membudaya.
“Kalau masih bisa sekolah, bisa berhasil dalam karir, kenapa harus menikah muda? Anak muda jangan mau menggadai masa depan,” kata Dr Peggy Mekel SE MA, satu sekian banyak wanita keturunan Tonsea, yang kini belum juga memutuskan untuk menikah.
Peggy memang menjadi inspirator anak muda di Provinsi Sulawesi Utara dengan prestasinya di bidang akademik serta organisasi kepemudaan. Wanita cantik kelahiran tahun 1978 itu mengisahkan masa kecilnya yang memiliki semangat kuat untuk bersekolah.
“Sejak SD, satu minggu menjelang ujian, saya tidak bermain keluar rumah dan perbanyak belajar. Pepatah bilang harus punya cita-cita setinggi langit,” kata Peggy sambil tertawa.
Meski begitu, diakui Peggy, tidak semua anak di Kabupaten Minahasa Utara, bisa menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi. “Selain faktor ekonomi, pergaulan juga menentukan. Kenapa menikah cepat? Karena pergaulan agak bebas. Secara pribadi belum ingin menikah, tapi sudah ‘accident’,” ujar Peggy, yang kini berprofesi sebagai dosen di Universitas Samratulangi Manado.
INVESTASI PENDIDIKAN
Pernyataan Peggy memang tepat. Pendidikan menjadi salah satu indikator kesejahteraan hidup seseorang. Hal ini disadari penuh Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara dengan menggelontorkan anggaran cukup besar untuk pendidikan.
Bupati Minahasa Utara Drs Sompie Singal MBA terus menghimbau masyarakat khususnya para orangtua agar jangan takut berinvestasi bagi pendidikan anaknya.
Menurut Singal, investasi pendidikan seperti yang dilakukan orang-orang Minahasa Utara sejak lama sangat baik untuk tetap diterapkan sampai sekarang.
“Karena saat ini kita tidak dapat bersaing dengan 100 hektar tanaman jagung, atau 1000 pohon kelapa saja. Tapi yang utama adalah Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mendongkrak kemajuan pembangunan daerah ini,” ujar Singal.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Minahasa Utara Drs Maximelian Tapada MSi mengatakan, tahun 2014 dana pendidikan diplot 30% dari total APBD.
“Untuk tahun 2014, anggaran Dikpora sebesar Rp220 Miliar dan tahun 2015 naik menjadi Rp224 Miliar,” kata Tapada.
Kebijakan ini berbuah manis seiring naiknya angka melek huruf warga Minahasa Utara yang tahun 2014 sudah mencapai 100%. Dikatakan Tapada, sebagai daerah kepulauan, sebuah tantangan besar bagi pemerintah untuk memberikan layanan pendidikan secara merata.
Olehnya, di wilayah kepulauan telah dibangun empat sekolah menengah atas, yaitu tiga SMKN khusus daerah pesisir dan satu SMAN di pulau Talise Kecamatan Likupang Barat.
“Untuk sekolah negeri, tidak diperbolehkan memungut biaya sekolah baik pendaftaran siswa baru sampai uang kelulusan. Dengan begitu kami berharap grafik angka partisipasi sekolah meningkat. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Minahasa Utara pun menempati urutan ketiga tertinggi di tingkat Provinsi Sulut yaitu mencapai 77,23 pada tahun 2013,” ujar Tapada.
Sesuai data di Badan Pusat Statistik (BPS), Angka Partisipasi Murni (APM) tahun 2012 untuk SD 85.9, SMP 68.6, SMA 45.6. Sementara tahun 2013 untuk SD 90.40, SMP 58.23, SMA 49.86. Sedangkan Angka Partisipasi Kasar (APK) tahun 2012 untuk SD 102.2, SMP 103.6, SMA 56.0. Sementara tahun 2014 untuk SD 110.08, SMP 82,58, SMA 83.10.
Hanya saja, untuk menekan angka pernikahan usia anak, butuh kerjasama semua pihak, terutama dalam penanaman nilai-nilai moral guna pembentukan karakter.
Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) Minut dr Harly Th. Sompotan MKes mengatakan, pola pikir masyarakat Minahasa Utara yang terbuka serta mau menerima informasi memberi kemudahan bagi BKKBN untuk mensosialisasikan Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).
“Sosialisasi program generasi berencana diberikan kepada seluruh remaja hingga ke wilayah-wilayah pelosok, termasuk sosialisasi akan bahaya penggunaan narkoba, seks bebas, hingga penyakit menular,” kata Sompotan.
Menurut Sompotan, BKKBN telah melakukan kerjasama dengan kelompok pemuda/remaja sinode gereja dan masjid, tokoh masyarakat, tokoh agama dan sekolah, dalam upaya pencegahan sejak dini masalah kerusakan moral di kalangan generasi muda.
Upaya ini didukung pihak Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan (Discapilduk) yang mewajibkan setiap anak di bawah umur yang akan menikah agar wajib mengantongi surat izin dispensasi pernikahan dari Pengadilan Negeri (PN) setempat.
“Sangat memperihatinkan jika ada anak-anak menikah akibat dampak pergaulan bebas yang menyebabkan hamil di luar nikah. Namun Discapilduk dan tokoh agama di Minut sangat baik mewajibkan anak-anak ini untuk mengantongi izin pengadilan. Dengan begitu tidak mudah bagi orangtua untuk menikahkan anaknya, apalagi jika menikahkan secara paksa karena alasan perjodohan dan sebagainya,” jelas Wakil Ketua PN Airmadidi Rommel Tampubolon SH.
Dijelaskannya, jumlah pernikahan usia anak di Minut setiap tahun mengalami penurunan. Tercatat, PN Airmadidi tahun 2014 telah menerbitkan 23 izin pengadilan, sedangkan tahun 2015 sebanyak 7 izin.
Disisi lain, laporan kasus di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Minut sejak tahun 2013 juga menurun dari angka 141, menjadi 137 di tahun 2014 dan 94 tahun 2015.
“Ini meliputi kasus penganiayaan anak, cabul, kekerasan dalam rumah tangga, zinah, penelantaran,” jelas Kapolres Minut AKBP Eko Irianto SIK.
Tidak hanya kriminalitas, menurunnya angka pernikahan usia anak, ikut menekan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Data di Dinas Kesehatan Minahasa Utara, tahun 2013, AKI mencapai 5 kasus, tahun 2014 sebanyak 3 kasus dan tahun 2015 sebanyak 2 kasus. Untuk AKB tahun 2013 sebanyak 6 kasus, tahun 2014 sebanyak 7 kasus dan tahun 2015 sebanyak 2 kasus.
Dibutuhkan kerjasama semua pihak untuk meminimalisir masalah-masalah kehidupan sosial dan kesehatan akibat pernikahan anak usia dini.
Menjadi berkah, orang-orang Tonsea sudah meletakan dasar yang tepat. Budaya orang Tonsea, bisa dijadikan contoh. Bahwa, semakin luas pengetahuan seseorang akan isu-isu pernikahan usia dini dan pentingnya pendidikan, bisa menekan angka pernikahan usia dini itu sendiri dan mengurangi resiko yang ditimbulkan setelahnya.
Pemerintah pun harus serius menyikapi isu-isu pernikahan dini dan tetap komitmen meningkatkan kualitas SDM serta pelayanan kesehatan kepada masyarakat.(Finda Muhtar)