Pilar Demokrasi (Hasil Kerja sama berita manado dengan KBR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Kasus kekerasan terhadap warga Syiah di Sampang, Madura, masih segar dalam ingatan. Dalam peristiwa kekerasan di Sampang, maupun peristiwa serupa di Tanah Air, banyak yang jadi korban, dan yang paling menderita adalah perempuan, beserta anak-anak. Kasus di Sampang menjadi bukti, negara selalu abai dalam kasus-kasus tindak kekerasan (khususnya) terhadap perempuan.
Kasus-kasus di ranah publik termasuk teror kekerasan seksual mulai di angkutan umum, sampai kekerasan terhadap perempuan pekerja buruh migran, menjadikan perempuan seolah-olah berada di luar jangkauan negara, dan tidak memperoleh hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Posisi negara yang selalu abai atas kasus kekerasan terhadap perempuan, menjadi tema program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV, dengan narasumber Dwi Ruby Kholifah (Asian Muslim Action Network, AMAN), dan Nia Syarifuddin (Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, ANBTI)
Dwi Ruby Kholifah melihat, dalam kasus
Sampang, negara lagi-lagi gagal mencegah tindak kekerasan dan memberikan perlindungan kepada warga. Ruby menyebut peristiwa Sampang, adalah penyerangan dengan sengaja kepada warga Syiah. “Siapa yang bisa menyembuhkan luka hati yang luar biasa, dan ketidakpastian tentang masa depan mereka.Sementara pihak penguasa sendiri masih bingung mencari solusi yang sebenarnya sudah jelas di depan mata,” tambah Ruby.
Nia Syarifuddin berpendapat berdasar catatan temuan investigasi dari kedua belah pihak, sebenarnya perempuan-perempuan Suni juga merasa khawatir dan cemas akan kondisi ini. Kalau sedikit kita tengok ke belakang, masuknya aliranSyiah di Sampang sudah cukup lama dan tidak terjadi masalah. Berdasarkan pengalaman lapangan, Nia berpendapat bahwayang utama adalah masalah kemiskinan.
Ruby membenarkan soal asumsi kemiskinan tersebut. Kalau cuma diutak-atik masalah konflik kekerasannya, tidak akan menyelesaikan. Ini bukan sekadar konflik Suni dan Syiah, ada yang lebih substansial, bahwa mereka butuhpengembangan, pendidikan, kesehatan yang baik, juga pekerjaan, agar kehidupan mereka bisa lebih sejahtera. “Belum lagikalau bicara soal akses jalan dan infrastruktur lainnya, hal-hal semacam ini harus dipandang secara komprehensif,” papar Ruby.
Nia menunjuk statemen pemerintah yang terlihat memang ada perbedaan perlakukan, terkesan kelompok Syiah memang disudutkan. Nia melanjutkan, untuk antisipasi masalah Sampang ini, butuh sekali para pengambil keputusan yang paham betul ideologi Pancasila dan konstitusi. “Setiap pejabat itu mengambil sumpah yang sakral di bawah kitab suci, setia pada Pancasila dan Undang-undang. Para bupati dan gubernur yang mengambil pilihan hidup untuk mengabdi pada masyarakat harus mampu melihat itu,” tegas Nia. (*)