
Manado, dan kita pun bernyanyi tentang engkau dalam lagu yang teramat panjang dengan nafas yang hampir berkarat. saat hari-hari kita memendek dalam gemuruh hasrat yang menimbun segala-gala.
tak ada lagi parodi Oom Endi deng Oom Gode di radio; tak ada lagi manis buah bombongan yang bikin kremos; tak ada lagi becak Teling yang aneh; tak ada lagi pohon pakoba yang bebas kita kerat kulitnya untuk rufu benang falinggir; tak ada lagi desas-desus hoga yang bergentayangan saban ada pembangunan dodoku baru; tak ada lagi jejak-jejak cinta dua remaja bersepeda-mini di keliling plein Tikala.
semuanya tak ada lagi. Sudah hilang. Tertimbun! Terbenam!! Terbunuh, sebelum waktunya, oleh pengkhianatan, kebodohan, dan masih terlalu kecilnya rasa tanggung jawab. maka sebetulnya kita pun tak tahu apakah kita sungguh-sungguh merindukan setiap yang hilang itu. kita tak tahu. kita tak tahu ke mana kita harus berpihak kerna kita bahkan tak pernah tahu di mana kita berpijak.
By Benni E Matindas
Catatan: “Oom Endi & Oom Gode” adalah nama sebuah rubrik RRI Manado; berbentuk parodi dgn peran tokoh Oom Endi sbg kusir bendi dan Oom Gode sbg penumpang langganannya, dialog mereka berisi kritik-kritik sangat tajam mengenai masalah sosial dan politik yang dikemas secara jenaka khas Manado. Salah satu pengelola rubrik ini adalah seniman/budayawan Sem Narande. Rubrik ini digemari masyarakat secara luarbiasa pd decade 1960an, tapi bgt cepat surut tersapu seiring melandanya pop-culture yang dibawa proses pembangunan Orde Baru sejak 1969 yang sangat ekonomisme.
Puisi diatas ditulis 33 tahun lalu, dibacakan pertama kali pada acara HUT Manado 1979, pernah terbit dalam sebuah surat kabar harian di Manado tahun 1981. Moga bisa bermanfaat buat sekadar ‘camu-camu’ saat berkontemplasi. (Benni E Matindas)