Manado – Keberhasilan Liliyana Natsir yang berpasangan dengan Tontowi Ahmad di nomor ganda campuran menjadi juara dunia di Guanzhou-China, diharapkan menjadi titik balik prestasi pebulutangkis Sulawesi Utara di level internasional.
Menurut anggota Deprov, Feronika Ponto, sejarah bulutangkis nasional tak lepas dari peran atlet-atlet bulutangkis Sulut yang berkontribusi memberi banyak gelar internasional bagi Indonesia.
“Sebut saja Lius Pongoh, Rosiana Tendean, Flandy William Limpele, Lili Tampi, Deyana Lomban hingga terakhir Liliyana Natsir. Telah banyak gelar dipersembahkan untuk Ibu Pertiwi karena Sulut adalah kekuatan bulutangkis terbesar diluar pulau Jawa,” ujar Ponto.
Namun disayangkannya, aktifitas permainan bulutangkis di Sulut dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sudah menurun. Bulutangkis telah menjadi olahraga komersil dan mahal. Bahkan, induk olahraga PBSI Sulut sangat minim kegiatan.
“Bulutangkis tidak lagi menjadi olahraga favorit. Misalnya, sekarang kita sulit melihat ada lapangan bulutangkis terbuka di desa-desa atau kelurahan yang menarik banyak warga untuk bermain. Lapangan bulutangkis sekarang berada di lokasi-lokasi tertentu yang terkesan eksklusif dengan biaya sewa mahal.
Begitupun induk organisasi PBSI Sulut seperti mati suri, minim kegiatan. Tidak terdengar ada pencarian bibit-bibit baru, pelatihan hingga turnamen. Kedepan saya mengharapkan seluruh stakeholder dan masyarakat untuk bersama-sama mengembalikan kejayaan bulutangkis Sulut dan Indonesia,” jelasnya berapi-api. (Jerry)