BITUNG — Senja perlahan turun bersama gerimis hujan. Ibu Yuke dan Vebriyanti kembali mengayunkan langkah untuk bergegas tiba di rumah, setelah beberapa kali berhenti karena harus berpaspasan atau membiarkan kendaran ojek lewat. Kali ini kondisi jalan tidak lagi menanjak namun sedikit lantai dan mulai menurun.
Terlihat ibu dan anak ini mempercepat ayunan langkah, seakan berpacu degan gelap malam yang mulai memancarkan cahaya temaran. Guratan wajah Ibu Yuke terlihat sedikit tegang, padahal atap-atap rumah di kelurahannya mulai terlihat. Tas berwarna hitam yang menggantung dibahu kirinya diapit kuat-kuat seraya semakin mempercepat langkah kakinya dengan tujuan ingin secepatnya sampai di rumah.
“Saya harus bergegas tiba di rumah karena subuh tadi saya sudah meninggalkan rumah,” ujarnya sambil setengah berlari diikuti anaknya.
Rupanya Ibu Yuke tidak hanya berpacu dengan kegelapan malam, namun juga aliran listrik yang hanya menyala dari pukul 18.00 Wita hingga pukul 22.00 Wita. Jadi ia harus bergegas menanak nasi dan lauknya serta melakukan aktifitas rumah lainnya seperti menyeterika baju. Jika terlambat maka pasti dirinya mengalami kesulitan karena harus menggunakan penerangan lampu botol.
“Komoditas Politik”
Pulau Lembeh adalah salah satu pulau yang dimiliki kota Bitung. Namun dari
sekian pulau, hanya Pulau Lembeh yang terbesar dan berpenghuni dengan luas wilayah 50.90 km2. Pulau ini sendiri, sesuai dengan data Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan kota Bitung per tanggal 5 April 2011 dihuni 22.071 jiwa penduduk, 11.293 laki-laki dan 10.778 perempuan dengan jumlah kepala keluarga 6.149. Pulau Lembeh terbagi dua kecamatan, yakni kecamatan Lembeh Utara dengan jumlah penduduk 10.225 jiwa yang tersebar di 10 kelurahan. Kecamatan Lembe Selatan dengan jumlah penduduk 11.846 jiwa di 7 kelurahan.
Namun jika dibandingkan dari segi pembangunan, wilayah Lembeh Selatan jauh lebih maju dari Lembeh Utara. Mungkin karena sebagian besar lokasi wilayah Lembeh Selatan yang mudah dijangkau dengan hadirnya akses jalan yang setiap tahun mendapat anggaran perawatan jalan, sehingga daerah ini jauh lebih maju.
Mimpi warga Lembeh, terutama warga kelurahan Motto akan akses jalan hadir ketika Sinyo Harry Sarundajang yang saat itu menjabat walikota Bitung menggagas pembangunan jalan lingkar Lembeh tahun 1986. Namun mimpi yang diberikan hanya sebatas mimpi di awan. Karena butuh beberapa tahun baru bisa direalisasikan, padahal Sarundajang sudah dua periode menjabat gubernur Sulut, tapi tetap saja itu bukan jaminan untuk mewujudkan impian tersebut.
Akibatnya, sebagian masyarakat hanya bergantung pada trasportasi laut untuk beraktifitas dan berhubungan dengan wilayah luar. Namun disaat cuaca tidak bersahabat seperti musim angin dan gelombang tinggi, mau tidak mau warga harus menggunakan trasportasi darat yang penuh resiko kecelakaan karena akses jalan yang memang tidak diperuntukkan untuk kendaraan bermotor.
“Akses jalan adalah sarana yang sangat kami butuhkan selain listrik dan signal
telepon. Namun akses jalan yang memadai adalah harapan terbesar untuk bisa direalisasikan agar kami bisa berhubungan dengan wilayah lain di pulau Lembeh ataupun ke kota Bitung,” ujar Alvian Dumat yang dipercayakan sebagai sekretaris kelurahan Motto.
Menurut Alvian, janji pembangunan jalan lingkar Lembeh tersebut selalu indah mereka dengar kala musim pemilukada datang. Entah itu pemilihan gubernur, anggota DPRD ataupun walikota, jalan lingkar Lembeh selalu menjadi menu utama untuk meraih simpati masyarakat dan memang strategi tersebut sangat ampuh.
Ini bukti jika akses jalan memang menjadi hal yang sangat dirindukan masyarakat Motto dan wilayah Lembeh lainnya. Karena dengan adanya akses jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor, maka masyarakat bisa leluasa untuk mengangkut hasil panen dan berpergian tanpa hambatan. Apalagi wilayah Motto yang menghadap laut lepas, akses jalan darat adalah kebutuhan yang sangat mendesak. Sebab transportasi laut tidak dapat diandalkan, apalagi di musim berangin.
“Tanpa ditanyapun orang yang pernah mengunjungi Motto atau keluarahan lain seperti Pintu Kota, Gunung Woka dan Posokan pasti berpendapat sama dengan kami, yakni pembangunan jalan harus diutamakan,” terang Alvian.
Ingatan Alvian masih merekam secara jelas ketika personil TNI mulai merintis jalan Puntu Kota – Batu Riri – Kareko – Binuang – Nusu – Motto serta Pancuran – Gunung Woka – Posokan – Motto. Warga begitu antusias menyambut pembangunan jalan tersebut, kendati lahan perkebunan dan puluhan hingga ratusan pohon kepala harus dikorbankan tanpa ganti rugi sepeserpun demi pembangunan jalan. Bahkan Alvian mengenang, masyarakat secara bergantian mengantarkan makanan dan minuman kepada prajurit TNI selama merintis jalan yang kini terbengkalai tersebut.
“Jelas kami sangat kecewa karena rintisan jalan hanya mubasir dan hanya
mengorbankan tanaman kelapa yang jika dikalkulasi hasilnya mungkin bisa
membiayai anak-anak kami sekolah jika tidak ditebang,” kenang Alvian.
Namun janji manis ini akan kembali sedap didengar kala pesta politik datang.
Terbukti, pemilihan walikota Bitung yang baru usai beberapa bulan lalu kembali mengangkat persoalan kelanjutan pembangunan jalan Lingkar Lembeh. Dimana salah satu pasangan calon ketika itu mengatakan sudah sementara menganggarkan dalam APBD pembangunan jalan tersebut, serta bantuan anggaran dari pusat. Dan lagi-lagi masyarakat hanya bisa menelan janji manis tersebut, kendati realisasinya masih jauh di awan-awan.
Karena kenyataannya, ketika ketua Komisi V bagian Anggaran DPR RI, Yasti
Soepredjo Mokoagow berkunjung ke kota Bitung, membantah jika ada usulan anggaran soal pembangunan jalan lingkar Lembeh. Malah menurut Yasti, Pemkot Bitung belum pernah mengusulkan bantuan anggaran khusus untuk pembangunan jalan lingkar Lembeh. Padahal selama ini Pemkot Bitung selalu berdalih jika kelanjutan pembangunan jalan lingkar Lembeh terkendala masalah anggaran dan itu sementara diusulkan ke pusat.
Hal bertentangan lagi dikatakan salah satu anggota DPRD Kota Bitung, Lexi
Maramis yang mengaku dalam penganggaran pihaknya selalu mengusulkan anggaran pembangunan jalan lingkar Lembeh. Malah anggaran tersebut sudah dengan anggaran pengerasan jalan, jadi bukan hanya rintisan seperti yang terjadi di lapangan saat ini.
“Logikanya, masak ada rintisan jalan jika tidak diikuti dengan pengerasan. Kalau hanya rintisan, itu bukan pembuatan jalan namanya karena jelas tidak akan bertahan lama jalan tersebut,” tegas Maramis seraya megaku bakal mengecek anggaran pembangunan jalan lingkar Lembeh tersebut.
Memang kelanjutan jalan lingkar Lembeh selalu menjadi bahan dagangan laris jika ditinjau dari sisi politik. Karena jelas para politisi mengetahui persis akan kebutuhan warga, sehingga sangat mudah meraih simpati kala mengangkat permasalahan tersebut untuk meraih simpati.
Hal ini dibenarkan salah seorang pengamat sosial kota Bitung, Jacky
Sumampouw. Karena menurutnya, sekian tahun masyarakat Lembeh selalu dibuai dengan janji kelanjutan pembangunan jalan lingkar Lembeh serta pembangunan infrastruktur lainnya.
“Jadi wajar jika masyarakat disana mulai bosan dan tidak percaya lagi terhadap pemerintah, karena jelas setiap memasuki masa pemilukada baru mulai diperhatikan. Itupun hanya sebatas janji manis saja,” ujar Sumampouw.
Masalah keterbatasan anggaran sendiri menurutnya bukan menjadi alasan. Karena, wacana pembangunan jalan lingkar Lembeh sudah dimulai tahun
1986,bukan baru satu dua tahun sebelumnya. Yang seharusnya jika pemerintah serius benar-benar ingin mewujudkan jalan lingkar Lembeh maka pasti jalan tersebut sudah dinikmati olah masyarakat saat ini.
“Kalau APBD tidak mampu, maka banyak cara lain untuk mendapatkan anggaran. Seperti melakukan lobi ke pusat atau mencari investor yang mau membantu dan saya rasa itu sudah diketahui oleh pemerintah kota Bitung. Cuma masalahnya pemerintah tidak ada keseriusan,” tegasnya.
Padahal jika impian masyarakat Motto ini benar-benar diwujudkan maka pasti wilayah tersebut akan bisa mengejar segala ketertinggalan mereka. Demikian pula dengan wilayah Lembeh lainnya, tidak akan hanya jadi penonton dalam geliat kota Bitung menjadi pelabuhan internasional dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang saat ini sementara dirintis.
Seperti harapan Opa Utu dan warga lain yang setiap tiga bulan harus mengeluarkan anggaran lebih untuk mengangkut hasil panen kopra menggunakan ojek ke Binuang, baru diseberangkan ke kota Bitung untuk dijual.
“Jalan merupakan impian kami, karena dengan adanya jalan maka pasti aktifitas antar kelurahan bisa dilakukan. Tidak seperti sekarang ini yang perlu perjuangan bahkan mempertaruhkan nyawa untuk bepergian dan kami harap ini bisa diperhatikan,” ujarnya berharap.
Belum lagi impian Ibu Katrina untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dengan mudah jika akses jalan lingkar Lembeh bisa terwujud. Serta harapan Finela Hariawan untuk tidak berpisah dengan orang tuanya hanya karena ingin melanjutkan sekolah ke tingkat SMA di wilayah lain. Padahal di kelurahannya dan kelurahan tetangganya sudah ada sekolah tingkat SMA, namun karena akses jalan yang tidak memadai, si sulung dari tiga bersaudara ini harus meninggalkan orang tuanya dan rekan-rekan bermainnya serta kedamaian Motto yang tetap terselimuti ketertinggalan dan buaian janji manis politik. (en) (bersambung)