Oleh: Adian Napitupulu (Sekjen PENA’98)
Soekarno pernah menyampaikan pernyataan dalam bentuk pertanyaan, “Konstitusi untuk Rakyat atau Rakyat untuk Konstitusi?”, Melalui pernyataan itu sesungguhnya Soekarno ingin menegaskan bahwa Rakyat diatas segala-galanya. Adapun Negara, Wilayah, Pemerintah bahkan Konstitusi, ada dan dijaga untuk Rakyat Indonesia, bukan sebaliknya.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meniadakan dialog serta tidak berusaha memahami dasar-dasar pemikiran, dari Rakyat yang meminta ia turun, lalu secara reaktif mengumbar tuduhan bahwa Rakyat yang menuntut ia turun adalah tuntutan inkonstitusional, maka sesungguhnya SBY sedang menyampaikan cara berfikirnya dalam menempatkan Rakyat menjadi objek. Secara tidak langsung pernyataan itu bermakna bahwa Rakyat adalah objek konstitusi, bahwa Rakyat bukan pemilik Sah Negara tapi hanya kumpulan manusia bernyawa yang menjadi objek sehingga sah saja untuk dikorbankan, dihilangkan, dilibas demi benda mati bernama Negara, Koordinat-koordinat Wilayah, Konstitusi dan pemerintah.
Dari dua cara pandang itu melahirkan kebijakan yang berbeda. Ketika Soekarno merebut Irian Barat, menolak Investasi Asing di sektor tambang dan migas bahkan ketika Soekarno diam saat dilengserkan secara paksa, maka semua itu Soekarno lakukan bukan untuk siapa-siapa tapi 1000% untuk Rakyat Indonesia, bukan untuk dirinya.
Sementara ketika SBY membiarkan Malaysia menggeser batas wilayah, memperpanjang kontrak karya Freeport di tengah kemiskinan dan penderitaan Rakyat papua juga meliberalisi impor bahan pangan yang membunuh petani dan peternak namun mengancam akan melibas Rakyat yang menginginkan ia diganti, menunjukan bahwa SBY menganggap dirinya diatas segala-galanya.
Pernyataan adalah manifestasi isi kepala. isi kepala adalah out put dari kombinasi cara berfikir dan keinginan hatinya. Memahami pernyataan seseorang, mendalami pemikirannya akan membuat kita mengerti apa sesungguhnya yang orang itu inginkan. (*/oke)