Hadang DPRD Korup, Gemar Studi Banding
Oleh Dino Gobel*
PADA Senin (14/4) malam lalu, saya diundang khusus Tommy Yanto, menikmati konser Paduan Suara Universitas Negeri Manado (PSM Unima) di Gereja GMIM Imanuel Wanea, di Manado. Tommy Yanto sendiri adalah seorang maestro bertaraf internasional, yang sudah hampir 13 tahun ikut mendampingi lahirnya banyak kelompok paduan suara di daerah ini.
Wow. Amazing! Itulah spontan ungkapan pujian saya yang tak henti terlontar pada setiap break sesi, dari 3 sesi sajian konser selama 3 jam malam itu yang dibawakan PSM Unima dengan Tommy Yanto sebagai konduktornya. ‘’The Creation’’ atau yang berarti Penciptaan, demikian judul konser mereka. Nama itu dipilih berdasarkan judul mahakarya musik klasik dari komposer Franz Joseph Haydn yang pernah hidup di Wina Austria dari tahun 1732-1809.
Secara apik, konser malam itu sukses menyodorkan oratorio musik paduan suara nan megah Haydn yang mengisahkan Karya Penciptaan alam semesta berdasarkan Kitab Kejadian dan Mazmur dalam Alkitab Perjanjian Lama. Mengandalkan kekuatan duet, trio, kwartet prima yang didukung kompaknya paduan suara, Tommy Yanto dan PSM Unima mampu menghipnotis para penonton, termasuk saya, sajian musik klasik berkelas nan merdu dengan gaya khas perpaduan tempo musik lambat, cepat dan menghentak bertemakan Barok.
Hipnotisme konser malam itu memuncak tatkala di sesi akhir, duet soli Rio Uguy dan Monica Raturandang, berhasil mengisahkan kekaguman dua manusia ciptaan awal Tuhan: Adam dan Eve, yang mengagumi karya baru ciptaan Tuhan. Pada momen ini, hipnotisme berupa lantunan musik menghentak dan sahut menyahut keduanya, mendadak menghantar saya jauh berpikir terhadap makna setiap peristiwa penciptaan masa kini: Bisakah kita seperti Haydn, yang antusias memaknai setiap karya Penciptaan di sekitar kehidupan kita? Tak hanya kita ikut merefleksikan Penciptaan alam semesta sebagamana tertutang di Alkitab Perjanjian Lama semata, namun juga terhadap peristiwa saat ini, masa kini, yang berlaku di sekeliling kita.
Misalnya saja terhadap Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April yang baru saja usai? Bukankah ini juga sebuah peristiwa Penciptaan? yaitu terciptanya para wakil rakyat kita di lembaga legislatif untuk 5 tahun ke depan? Seperti apakah kita memaknai kehadiran mereka?
Harus diakui, jika kita berbicara atau membahas tentang para wakil rakyat yang baru ‘’diciptakan’’ pada setiap Pileg, maka anggapan kebanyakan dari kita langsung berubah skeptis, miring bahkan pesimis. Penyebabnya karena kita berhadapan dengan fenomena khas yang selalu muncul di setiap pra dan saat Pileg berlangsung. Yah, mulai terbebernya beragam isu aktual seperti masih banyak golongan putih (golput) yang enggan nyoblos, politik uang berupa jual beli suara hingga kecurangan saat perhitungan di tingkat TPS (Tempat Pemungutan Suara), ke Kelurahan, Kecamatan hingga pleno di KPU Kota/Kab dan Provinsi diduga curang.
Walhasil, wakil rakyat yang baru tercipta ini pun kerap ‘’dituduhkan’’ sebagai wakil rakyat yang lahir dari kualitas ‘’politik uang’’ yang diduga telah dilakukannya selama masa pra dan saat pelaksanaan Pileg. Benarkah?
Suka atau tidak terhadap stigma buruk ini, saya kira sudah saatnya kita semua membangun komitmen kerakyatan bersama: baik itu para caleg yang sukses menjadi wakil rakyat dan rakyat sendiri. Caranya? Caleg yang kelak akan diresmikan menjadi wakil rakyat itu harus mampu membuktikan bahwa dia layak menjadi wakil rakyat yang akan mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya. Bukan sebaliknya, berpikir berapa banyak duit rakyat yang akan saya korup sebagai dana ‘’pulang pokok’’ selama masa kampanye sembari menikmati empuknya kursi dan sejuknya ruang dewan ber-ac, yang disertai bonus nikmatnya plesiran setiap bulan di atas pesawat menuju kota tujuan bernama ‘’studi banding’’. Ahhh!!!
Sebaliknya, Anda dan saya, segenap masyarakat Sulut. Marilah. Kita kritisi kinerja para wakil rakyat. Dengan disuport para penegak hukum, kawan-kawan media, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kelompok peduli lainnya, kita desak para wakil rakyat untuk sungguh mengutamakan kepentingan dan pergumulan rakyat lah yang harus diutamakan dan disejahterakan. Saatnya, komitmen bersama ini kita semua wujudkan untuk sebuah gerakan perubahan menuju Manado yang lebih baik lagi, dimana kebijakan yang dihasilkan di lembaga kerakyatan mampu mensejahterakan masyarakatnya dan dimana waki rakyat berpola lama: malas ngantor, korup dan gemar studi banding kita hadang bersama kehadirannya.
‘’Terpilih menjadi Wakil Rakyat bukanlah tujuan akhir para Caleg. Tapi mengabdi, berkarya, dan membuat perubahan jadi lebih baik, itulah tugas kita bersama!’’ kata kawan saya Jemmy Asiku yang juga pengusaha sukses Sulut itu. Harapan Jemmy Asiku adalah harapan torang semua, baik sebagai warga, mapun wakil rakyat itu sendiri.
Saya terhenyak, kagum, meski menggeleng sedih. Sebab, di balik sukses konser megah ‘’The Creation’’ malam itu, siapa sangka para personil PSM Unima justru tidak mendapat suport finansial samasekali dari lembaga yang menaunggi mereka: Rektorat Unima. Sebaliknya, mereka dengan penuh semangat harus menabung Rp100 ribu per minggu hanya untuk menghasilkan konser yang mampu mengharumkan nama besar Unima sendiri. Meski, di balik itu, konser The Creation sukses pula membawa penonton, termasuk saya, berpikir lebih jauh dan merefleksikan diri tentang makna ‘’The Creation’’ dalam konteks kehidupan bersama di negeri tercinta ini. Bravo dan terus maju PSM Unima. Maju terus Sulawesi Utara tercinta!
*Penulis adalah wartawan, tinggal di Manado