oleh: Adian Napitupulu (Sekjen PENA’98)
Mei 98 Indonesia memanas, Soeharto belum 2 bulan dilantik jadi Presiden, penolakan Mahasiswa dan Rakyat meningkat. Soeharto menjawab dengan memobilisasi hampir separuh kekuatan militer di Pulau Jawa untuk masuk Jakarta. Tentara dan Polisi bertebaran disetiap tikungan jalan, menenteng senjata dengan garis merah dimagazin penanda berisi peluru tajam.
Logika awam, ketika banyak ribuan tentara dan polisi harusnya situasi jadi aman, ketika disetiap sudut kota ada polisi dan tentara maka harusnya Rakyat menjadi tenang. Tapi logika awam ternyata tak sejalan dengan fakta. Kerusuhan Mei 98 terjadi bukan disaat tentara dan polisi tak ada, tetapi terjadi justeru di saat tentara dan polisi bertebaran di sepanjang jalan dan perumahan.
15 tahun sudah berlalu, kubur para korban sudah mengering, air mata orang tua sudah tak lagi bisa menetes. Partai-Partai berdiri, Pemilu berlalu 3 kali, Presiden, gubernur, Kapolri, Kasad sudah gonta ganti. Tapi hingga hari ini tak ada jawaban Siapa sesungguhnya yang membunuh Moses di Jogja, siapa yang menembak 4 mahasiswa Trisakti, 9 mahasiswa di Semanggi, 2 mahasiswa di Sumut, 2 Mahasiswa di lampung, 1 Mahasiwa di Palembang, 1 Pelajar SMU di Slipi ?
Setelah 15 tahun, tak pernah ada jawaban tentang siapa sesungguhnya pelaku kerusuhan Mei 98 yang terjadi di hari, tanggal, bulan, dan tahun yang sama serentak di berbagai kota? Siapa yang sanggup lakukan kerusuhan, pembunuhan, pemerkosaan massal serentak di seantero negeri dan hingga hari ini tak pernah ditangkap? Siapa yang sanggup membakar hangus puluhan orang di Bioskop Klender dan hingga hari ini tak pernah di tangkap.
Tak ada yang tahu sekuat apa si pemberi perintah sehingga tak satupun pelaku bisa diadili. Sekuat apa si pemberi perintah hingga Partai-Partai yang berdiri diatas lautan darah seolah tak perduli, sekuat apa dia hingga para aktivis rekan para korban bisa puas dengan menyalakan lilin satu kali ditiap bulan Mei. (oke)