Manado – Polisi tampaknya sengaja menutupi kasus penganiayaan berat yang dilakukan puluhan Sabhara Polda Sulut terhadap 5 anak remaja pada Desember 2017 silam.
Meskilpun pihak keluarga korban berulang kali mengungkapkan kasus tersebut harus diproses hukum namun sikap sebaliknya ditunjukkan Polda Sulut.
Dikonfirmasi BeritaManado.com, Kamis (15/11/2018) siang, Kabid Humas Polda Sulut, Kombes Pol Ibrahim Tompo, mengatakan telah ada usaha perdamaian dari pihak keluarga korban
“Sudah proses disiplin (pelaku pemukulan). Proses hukum terkendala karena mereka (keluarga) meminta perdamaian. Sudah ada surat perdamaian di antara mereka tapi tetap kami lakukan proses disiplin secara internal,” jelas Ibrahim Tompo melalui komunikasi handphone.
BeritaManado.com menyampaikan 4 orang tua korban tetap ngotot agar para pelaku penganiayaan diproses hukum, Kombes Ibrahim Tompo berjanji akan menindaklanjuti ke Direskrimum.
“Dari Reskrimum kita sudah melakukan penekanan itu waktu untuk tindaklanjuti namun mereka secara teknis punya kendala. Pemeriksaan terhadap saksi-saksi tidak berjalan. Nanti saya ingatkan mereka, kita lihat perkembangan lanjut di Reskrim,” pungkas Ibrahim Tompo.
Kuasa hukum korban, Adv. EK Tindangen SH, menyayangkan sikap tidak profesional Polda Sulut. Kasus penganiayaan dengan korban sudah di-visum dan saksi para korban sendiri kemudian tidak ditindaklanjuti menjadi aib bagi kepolisian.
“Artinya, nila setitik merusak susu sebelanga. Demi melindungi oknum-oknum polisi yang melanggar hukum nama besar kepolisian RI dipertaruhkan,” tegas Tindangen, Jumat (16/11/2018) sore.
Sebelumnya diberitakan, kecewa karena Polda Sulut tak kunjung menetapkan tersangka bagi puluhan polisi Sabhara yang melakukan penganiayaan berat terhadap 5 anak di bawah umur, pihak keluarga korban memutuskan akan menyurat ke Kompolnas RI di Jakarta.
Dijelaskan kuasa hukum korban, Adv. E.K Tindangen SH, surat ke Kompolnas akan dikirim para orang tua dari korban Yeheskiel Tumimomor, Reza Walla, Daniel Kalalo dan Frangke Pelengkahu.
“Surat akan dikirim oleh orang tua korban dalam waktu dekat. Mereka tidak percaya lagi Kapolda sudah bertemu lalu tapi tak kunjung ditindaklanjuti. Keluarga korban tetap menuntut keadilan,” ujar EK Tindangen kepada BeritaManado.com, Senin (12/11/2018) lalu.
Lanjut Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Sulawesi Utara ini, surat keluarga korban kepada Kompolnas akan dikawal LPAI pusat.
“Kami sudah berkoordinasi dengan LPAI pusat mereka siap membantu. Kasus penganiayaan sudah 11 bulan tak kunjung tuntas. Mereka (puluhan polisi Sabhara) minta damai terus datang ke rumah namun keluarga korban menuntut keadilan diproses hukum tapi diabaikan pihak Polda,” tandas Tindangen.
Sebelumnya diberitakan, Jutry Tumimomor, orang tua korban Yeheskiel Tumimomor berharap pihak Polda Sulut menuntaskan kasus penganiayaan berat ini. Menurut dia, polisi sebagai pengayom masyarakat mestinya memberikan rasa aman dan nyaman bukan sebaliknya menjadi pelaku pidana.
“Komitmen bapak Kapolda memberi raya aman dan nyaman kepada masyarakat dikotori oleh oknum-oknum polisi Sabhara ini. Jika anak-anak kami melakukan pelanggaran hukum mestinya diproses sesuai hukum, bukan dianiaya. Terbukti di Polsek Tikala tidak ditemukan senjata tajam pada anak-anak kami bahkan tidak ada bau minuman keras. Justru menurut anak-anak, oknum Sabhara yang berbau alkohol,” tukas Jutry Tumimomor kala itu.
Lanjut Jutry Tumimomor, pihaknya memiliki bukti penganiayaan melalui hasil visum yang sudah diserahkan kepada pihak kepolisian.
“Bahkan kami punya foto-foto luka lebam di wajah dan bagian tubuh lainnya dari para korban yang kami foto sendiri,” tandas Jutry.
Sebelumnya juga diberitakan, komitmen Kapolda Sulut, Irjen Pol Bambang Waskito, memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat dikotori oleh sekelompok polisi Sabhara.
Pasalnya, lebih dari 20 polisi Sabhara Polda Sulut diduga telah menganiaya 5 remaja warga Perkamil dan Ranomuut, Kecamatan Paal Dua, Kota Manado.
Ke-5 korban adalah Yeheskiel Tumimomor, Reza Walla, Brilian Karisoh, Daniel Kalalo dan Frangke Pelengkahu.
Diceritakan korban Yeheskiel Tumimomor didampingi Jutry Tumimomor, ayah korban, kepada BeritaManado.com di rumah kediaman mereka di Kelurahan Ranomuut, Lingkungan 5, Kamis (1/2/2018) lalu, kejadiannya pada Rabu 13 Desember 2017, sekitar pukul 02.00 WITA dinihari.
Tempat kejadian pemukulan di sekitar Supermarket Perkamil Jaya dan Perumahan Malendeng Residence.
Korban Yeheskiel Tumimomor bersama 4 orang temannya, warga Perkamil, diduga mengalami penganiayaan berat yang dilakukan lebih dari 20 polisi Sabhara Polda Sulut.
Kejadian berawal ketika korban bersama 5 temannya berboncengan menggunakan 3 sepeda motor begadang semalaman melintasi jalan Perkamil, sementara mengendarai tiba-tiba datang pengendara motor lain yang coba menyerempet motor korban. Secara spontan mereka berteriak, setelah itu pengendara motor yang menyerempet menghilang.
Polisi Sabhara yang berjumlah 20 orang lebih yang kebetulan berada di Polsek Tikala samping SMA Negeri 4 Perkamil mendengar teriakan korban. Korban bersama temannya diikuti hingga Supermarket Perkamil Jaya.
Dua orang teman korban dipanggil oknum Sabhara yang tanpa konfirmasi terkait kejadian yang baru saja terjadi langsung
melakukan penganiayaan kepada dua teman korban hingga korban masuk saluran air dekat supermarket.
Melihat dua teman mereka sudah dianiaya, korban Yeheskiel bersama seorang teman menggunakan sepeda motor langsung melarikan diri ke arah Perumahan Malendeng Residence dekat ringroad.
Bak singa yang kelaparan oknum Sabhara mengejar mereka, tepat di terowongan dekat Perumahan Malendeng Residence korban dianiaya.
Korban besama 4 teman korban dibawa ke Polsek Tikala sekitar pukul 3.00 WITA, sementara seorang teman mereka lolos dari penganiayaan karena sudah pulang saat kejadian penganiayaan. Ke-5 korban dipaksa jalan jongkok dari jalan raya hingga kantor Polsek Tikala yang berjarak puluhan meter.
Tanpa perikemanusiaan, lima korban penganiayaan ini sambil berjalan masih dianiaya, dipukul, ditendang menggunakan sepatu lars hingga gigi dari korban Yeheskiel rontok. Lima korban penganiayaan ini mengalami banyak luka di tangan, kaki hingga luka lebam di wajah.
Usai menganiaya, puluhan anggota Sabhara ini meninggalkan kantor Polsek Tikala, selanjutnya para korban ditangani anggota Polsek Tikala.
Sekitar Pukul 09.00 WITA, orang tua salah-satu korban yakni Reza Walla mendatangi Polsek Tikala. Setelah diizinkan mengambil foto, sekitar pukul 11.00 WITA, 5 korban diantar orang tua dari korban Reza Walla melapor ke Propam Polda Sulut.
Sekitar Pukul 13.00 WITA, korban Reza Walla menjalani visum et repertum di Rumah-Sakit Bhayangkara Karombasan. Orang tua Yeheskiel baru mengetahui pukul 17.00 WITA. Korban Yeheskiel divisum di Rumah-Sakit Bhayangkara pukul 23.00 WITA.
Jutry Tumimomor, mewakili orang tua para korban menyesalkan respon negatif Polda Sulut, sejak dilaporkan pada 13 Desember 2017 hingga 23 Januari 2018 belum mendapat tanggapan serius.
“Sekitar 23 Januari 2018 korban Resa Walla didampingi orang tua di-BAP di Polda. Kemudian 24 Januari lima korban mendatangi Polda. BAP penyidik ada empat orang tiga perempuan dan satu laki-laki. Mereka janjikan mediasi tapi hingga sekarang tidak dilakukan,” jelas Jutry Tumimomor.
Polda Sulut melalui Kabid Humas, Kombes Pol Ibrahim Tompo, SIK, MSi, dikonfirmasi BeritaManado.com, Selasa (6/2/2018) lalu, mengatakan, pihaknya masih menelusuri kejadian tersebut. Alasannya, kasus dugaan penganiayaan membutuhkan pembuktian.
“Sebenarnya yang terjadi anggota kami melakukan tindakan pengamanan tapi mereka tidak terima. Sesuai laporan anak-anak itu mabuk dan balapan liar bahkan ada yang membawa senjata tajam. Sebenarnya yang dilaporkan itu dalam posisi apa? Namun untuk dugaan pidana kasus tersebut sudah tahap penyelidikan,” jelas Ibrahim Tompo.
Diketahui, kasus ini juga ditangani Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI). Ketua Umum LPAI, Seto Mulyadi, akrab disapa Kak Seto, didampingi Ketua LPAI Sulut, Adv. E.K Tindangen SH, telah bertemu Kapolda Bambang Waskito, Selasa (6/2/2018) lalu.
(JerryPalohoon)