Manado – Tanggal 17 Maret pada 52 tahun yang lalu, Gubernur Sulawesi Utara (dulu disingkat Sultara), FJ (Broer) Tumbelaka pada tituk menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan dan membenahi barang-barang pribadinya dari Kantor Gubernur SultarA (lokasi sekarang RS Siloam dan Hotel Aryaduta di Jalan Sam Ratulangi serta rumah jabatan di komplex Bumi Beringin.
Ini dilakukan dalam rangka proses menunggu jawaban Pemerintah Pusat terkait surat permohonan berhenti dari jabatan Gubernur Sultara. Alasan resmi yang dipakai adalah masalah kesehatan, namun sejumlah kalangan elite di Jakarta dan Manado menganggap keputusan berhenti karena Broer Tumbelaka tidak lagi mendapat dukungan utuh alias bulat lonjong dari para elite di Jakarta.
Hal ini tergambar ada permintaan yang bersifat khusus dan strategis serta mendesak (urgent) yang tidak didukung penuh oleh elite di Jakarta, bentuk ekspresi “kekecewaan” dari Broer Tumbelaka adalah dengan meminta berhenti.
Pada 19 Maret 1965, surat Broer Tumbelaka dijawab melali keluarnya keputusan mengangkat Pangdam XIII/Merdeka, Brigjen Soenandar Pridjosoedarmo, sebagai *Penjabat* Gubernur Sultara.
Sejarah mencatat, pasca mundurnya Gubernur Sulawesi Utara pertama, FJ (Broer) Tumbelaka, maka daerah ini harus mengalami 2 kali *Penjabat* Gubernur karena Brigjen Soenandar kemudian diganti oleh Abdullah Amu selaku *Penjabat* Gubernur Sultara.
Namun yang menarik adalah hampir semua yang telah diprogram dan direncanakan dimasa Gubernur FJ Tumbelaka, dilaksanakan oleh Brigjen Soenandar dan Abdullah Amu dengan cepat, salah satunya adalah pembangunan Kantor DPRD Sultara di bilangan Sario atau sekarang disebut Kantor DPRD Sulut atau sebutan lainnya adalah Gedung Cengkih.
Broer Tumbelaka mundur dari jabatan Gubernur Sultara pada usia 44 tahun dan selanjutnya diangkat menjadi Tim Ahli Menteri Dalam Negeri dimasa LetJend Amir Machmud dan dianggap menjadi orang paling diandalkan oleh Pak Amir Mahcmud pada masa itu. (***JerryPalohoon)